Sabtu, 08 Oktober 2011

Mengamati Dan Mengkritisi Film Denias “Senandung di atas awan”

I.                  Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

            “Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat.” Melalui sastra, terutama novel kita dapat mengerti lebih banyak mengenai kehidupan manusia. Suatu karya sastra dapat memperkaya wawasan pembaca dengan berbagai sudut pandang seperti psikologi, sejarah, sosial, politik, dan antropologi. Sastra menyajikan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah "kebenaran" penggambaran, atau yang hendak digambarkan. Namun Wellek dan Warren mengingatkan, bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya.
Hal ini disebabkan fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra tersebut kadang tidak disengaja dituliskan oleh pengarang, atau karena hakikat karya sastra itu sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara tidak langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu. Pengarang merupakan anggota yang hidup dan berhubungan dengan orang-orang yang berada disekitarnya, maka dalam proses penciptaan karya sastra seorang pengarang tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, karya sastra yang lahir ditengah-tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan jiwa pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dihayatinya.
Dengan demikian, sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari kekosongan sosial. Artinya karya sastra ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu dan menceritakan kebudayaan-kebudayaan yang melatarbelakanginya. Berangkat dari uraian tersebut, dalam makalah ini kami akan menganalisis film Denias ”Senandung di atas awan” dengan pendekatan sosiologi sastra.


II. Landasan Teori

2.1 Hakikat Sosiologi Sastra
            Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sos (Yunani) yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman, dan logi (logos) berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut, keduanya memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda bahkan bertentangan secara dianetral. Menurut Ratna (2003: 2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain:
1.      Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangn aspek kemasyarakatannya.
2.      Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya.
3.      Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangi.
4.      Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) antara sastra dengan masyarakat.
5.      Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara sastra dengan masyarakat.

Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial Wellek dan Warren (1956: 84, 1990: 111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut:

1.      Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan istitusi sastra, masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Wellek dan Warren,1990:112).
2.      Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial. (Wellek dan Warren, 1990:122). Beranggapan dengan berdasarkan pada penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama) bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton dan para pengikutnya sastra adalah gudang adat-istiadat, buku sumber sejarah peradaban.
3.      Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya.

Berkaitan dengan sosiologi sastra sebagai kajian Eagleton (1983), mengemukakan bahwa sosiologi sastra menonjol dilakukan oleh kaum Marxisme yang mengemukakan bahwa sastra adalah refleksi masyarakat yang dipengaruhi oleh kondisi sejarah. Sastra karenanya, merupakan suatu refleksi llingkungan budaya dan merupakan suatu teks dialektik antara pengarang. Situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra.
Sebagaimana yang dikemukakan Damono, Swingewood (1972: 15) pun mengingatkan bahwa dalam melakukan analisis sosiologi terhadap karya sastra, kritikus harus berhati-hati dengan slogan “sastra adalah cermin masyarakat’’. Hal ini melupakan pengarang, kesadaran, dan tujuannya. Dalam melukiskan kenyataan, selain melalui refleksi, sebagai cermin, juga dengan cara refleksi sebagai jalan belok. Seniman tidak semata melukiskan keadaan sesungguhnya, tetapi mengubah sedemikian rupa kualitas kreativitasnya. Dalam hubungan ini Teeuw (1984: 18-26) mengemukakan ada empat cara yang mungkin dilalui, yaitu (a) afirmasi (merupakan norma yang sudah ada), (b) restorasi (sebagai ungkapan kerinduan pada norma yang sudah usang), (c) negasi (dengan mengadakan pemberontakan terhadap norma yang sedang beralaku), (d) inovasi (dengan mengadakan pembaharuan terhadap norma yang ada).
            Berkenaan dengan kaitan antara sosiologi dan sastra tampaknya Swingewood (1972: 15) mempunyai cara pandang bahwa suatu jagad yang merupakan tumpuan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia, karena di samping sebagai makhluk sosial budaya akan sangat sarat termuat dalam karya sastra. Hal inilah yang menjadi bahan kajian dalam telaah sosiologi sastra.
            Rasionalisasi penelitian sosiologi sastra hadir dari Glickberg (1967:75) bahwa seperti apa bentuk karya sastra (fantastik dan mistis) pun besar perhatiannya terhadap fenomena sosial. Karya tersebut boleh dikatakan akan tetap menampilkan kejadian-kejadian yang ada di masyarakat. Memang, pencipta sastra akan dengan sendiri mendistorsi fakta sosial sesuai dengan idealisme mereka.
            Dalam pandangan Wolff (Faruk, 1994:3) sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dengan masyarakat.
            Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Arenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan zamannya.
            Kendati sosiologi dan sastra mempunyai perbedaan tertentu namun sebenarnya dapat memberikan penjelasan terhadap makna teks sastra (Laurenson dan Swingewood, 1972). Hal ini dapat dipahami, karena  sosiologi objek studinya tentang manusia dan sastra pun demikian. Sastra adalah ekspresi kehidupan manusia yang tak lepas dari akar masyarakatnya. Dengan demikian, meskipun sosiologi dan sastra adalah dua hal yang berbeda namun dapat saling melengkapi. Dalam kaitan ini, sastra merupakan sebuah refleksi lingkungan sosial budaya yang merupakan satu tes dialektika antara pengarang dengan situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra.
            Hal penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror). Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai mimemis (tiruan) masyarakat. Kendati demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan. Dari sini, tentu sastra tidak akan semata-mata menyodorkan fakta secara mentah.
            Sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia. Karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi. Dalam perjuangan panjang tersebut, menurut Goldmann (1981:11) memiliki tiga ciri dasar, yaitu: (1) kecenderungan manusia untuk mengadaptasikan dirinya terhadap lingkungan dengan demikian ia dapat berwatak rasional dan signifikan di dalam korelasinya dengan lingkungan, (2) kecendenrungan pada koherensi dalam proses penstrukturan yang global, dan (3) dengan sendirinya ia mempunyai sifat dinamik serta kecenderungan untuk merubah struktur walaupun manusia menjadi bagian struktur tersebut.
            Pada prinsipnya, menurut Laurenson dan Swingewood (1971) terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu: (1) penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2) penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan (3) penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya.
Dapat disimpulkan, analisis sosiologi sastra berfokus pada penelaahan gambaran kondisi sosial masyarakat yang diangkat ke dalam cerpen. “Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Karya sastra hampir tidak dapat terlepas dari kehidupan sosial manusia karena pengarang sendiri adalah bagian dari masyarakat.
Dalam makalah ini, kritik sastra memiliki empat pendekatan yaitu: orientasi pada semesta, pembaca, elemen pengarang dan karya. Menurut Warren dan Wellek sosiologi sastra sendiri berasal dari orientasi pada semesta, pengarang dan pembaca. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa suatu karya sastra tidak terlepas dari dunia dan kehidupan manusia. Selain itu peranan penulis dalam sosiologi sastra tidak dapat dipisahkan dari kenyataan bahwa pengarang secara langsung terlibat dalam memasukkan unsure sosiologi sastra karya tulisnya. Perspektif pembaca juga sangat berpengaruh sebab pembaca sebagai “ … penerima efek karya sastra, dapat dengan bebas menelaah inti sosiologi dari karya sastra dan menyerap pesan yang tersirat.”
      Suatu karya sastra ditulis dengan maksud dan tujuan tertentu. Pengarang cerpen tidak sekadar berimajinasi dan memasukkan berbagai macam aspek kehidupan manusia ke dalam novel. Oleh sebab itu adalah penting untuk mengerti inti dari karya sastra tersebut sehingga kita dapat mempelajari kehidupan sosial manusia. Dalam menelaah cerpen penulis akan menggunakan kajian sosiologi sastra yang berpusat pada karya sastra itu sendiri terlepas dari pengarang dan pembaca.



III     Mengenai Film Denias “Senandung di atas awan”


Judul Film                   : Denias “Senandung di Atas Awan”
Sutradara                     : John de Rantau
Produser                      : Nia Zulkarnaen
                          Ari Sihasale
Penulis Skenario          : J. Nyangoen
 Monty Tiwa
Pemeran                     : Ari Sihasale
Nia Zulkarnaen
  Marcella Zalianty
  Albert Fakdawer
  Michael Jakarimilena
  Pevita Eileen Pearce
  Mathias Muchus
  Audrey Pailaya
Tanggal Rilis               : 19 Oktober 2006
Durasi                          : 110

Sinopsis Cerita :
Film ini menceritakan tentang perjuangan seorang anak petani suku pedalaman. Papua yang bernama Denias yang diperankan oleh Albert Fakdawer. Suatu malam ibunya tewas karena Denias melakukan sesuatu yang tidak disengaja. Denias pun terpukul. . Hidup Denias dibayangi kesedihan semenjak kematian ibunya dalam sebuah tragedi kebakaran. Namun semangatnya untuk belajar tidak pernah pupus. Beruntung ada Maleo (Ari Sihasale) yang menguatkannya. Sebelum tewas, ibu Denias berpesan padanya agar jangan melupakan sekolah dan terus belajar. Pesan ini diingat terus oleh Denias. Maleo pun memotivasi Denias untuk menuntut ilmu di sekolah dasar yang berada di balik gunung. Sekolah itu bangunannya luas, permanen dan berfasilitas lengkap. Berbeda dengan sekolah di kampungnya yang kecil, dibangun dari kayu, dan akhirnya rubuh ketika diguncang gempa. Sekolah modern di balik gunung itu pun bermetode pengajaran modern dengan para guru yang ahli. Tidak seperti sekolah di kampungnya yang gurunya (Mathias Muchus) hanya satu dan akhirnya pulang ke tanah Jawa karena istrinya sakit. Kemudian berangkatlah Denias ke kota untuk menggapai cita-citanya untuk sekolah.Denias pun sampai di sekolah itu setelah susah payah melewati hutan Papua. Di sana ia bertemu Ibu guru Sam (Marcella Zalianty) yang membantunya agar dapat diterima menjadi murid di sekolah itu. Maklum, sekolah itu hanya diperuntukkan untuk anak-anak kepala suku, sedangkan Denias hanya anak biasa.


ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA PADA KARANGAN SISWA KELAS 5 SD

BAB I
PENDAHULUAN   

1.1  Fenomena Kemampuan Bahasa Pada Siswa Kelas IV Sekolah Dasar

Bahasa merupakan alat komunikasi yang terpenting dalam kehidupan manusia, dengan bahasa juga dapat saling bertukar pikiran, gagasan,  pengetahuan serta dapat menjalin hubungan dengan baik. Dengan bahasa pula cara hidup dan berfikir manusia dapat dipengaruhi, untuk itu bahasa adalah alat untuk mengenal dunia.
Dalam belajar bahasa, siswa mengembangkan kemampuannya untuk memahami dan memproduksi bahasa. Pengembangan tersebut meliputi belajar menyusun bahasa dan penggunaannya dalam berkomunikasi. Kemampuan berbahasa anak bervariasi. Pada umumnya anak yang memiliki kemampuan berbahasa yang baik yang diperoleh dari kebiasaan komunikasinya dengan menggunakan bahasa sehari-hari mereka. Anak yang kacau kemampuan berbahasanya atau perkembangan bahasanya belum sampai pada tingkat kebahasaan yang digunakan dalam bacaan dimungkinkan akan mengalami kesulitan dalam membaca. Salah satu faktor yang mungkin menyebabkan kegagalan siswa dalam belajarnya adalah kurangnya kemampuan siswa menggunakan bahasa yang digunakan dalam teks.
Menurut Chomsky, pada usia muda seorang anak sudah dapat menguasai struktur bahasanya karena dilengkapi oleh peranti pemerolehan bahasa (LAD) lalu anak dapat menguasai kosa kata mencapai ratusan pada usia prasekolah dan ia juga sudah dapat berkomunikasi dengan lancar menggunakan kalimat yang lengkap. Hal ini berangkat dari teori nativisme yang berpendapat bahwa anak sejak lahir sudah dibekali dengan potensi bahasa. Berdasartkan teori stimulus, semua pengetahuan dalam manusia yang tampak dalam pelaku berbahasa merupakan hasil dari intergrasi peristiwa dan lingkuhan yang dialami atau diamati lalu timbulah respon.
            Jean Piage dalam teori Teori Hipotesis Kemestaan Kognitif-nya menyatakan bahwa ketika usia 0 hingga 1,5 tahun, anak-anak mengembangkan pola-pola aksi dengan cara bereaksi alam sekira. Hal inilah yang kemudian menjadi struktur akal dan mental. Usia 2 hingga 7 tahun merepresentasikan kecerdasan. Seorang anak mulai dari membentuk representasi simbolik, gambar-gambar, atau permainan. Kemampuan anak akan terus berkembang dalam nilai-nilai sosialnya. Lalu Zwart mengemukakan ada tiga tahap pemerolehan anak-anak, yaitu: (1) Anak-anak memiliki satu gabungan bunyi pendek dari bunyi-bunyi yang dikerahkannya untuk menyampaikan pola aksinya. (2) Pola aksi itu terjalin unsur agen + aksi + penderita. (3) Dengan kata lain muncul fungsi-fungsi tata bahasa yang pertama yaitu S + P + O.
Menurut McNeill (1970), sampai pada usia lima tahun anak yang berbahasa pertama bahasa Inggris belum menguasai sintaksis secara lengkap. Penelitian Gvozdev menunjukkan bahwa beberapa cirri gramatikal tertentu belum dapat dikuasai sebelum anak mencapai umur tiga tahun; pada beberapa anak bahkan sampai tujuh tahun (Beilin 1975:28,29)
Di dalam tingkat-tingkat perkembangan bahasa pada anak perlu dibedakan antara kemampuan memahami dan kemampuan mengutarakan diri; di dalam proses perkembangan itu terjadi kemampuan memahami terlebih dahulu baru kemampuan mengutarakan diri. Di dalam eksperimennya terhadap anak-anak usia lima tahun ke atas, Palermo dan Molfese (1972) menyimpulkan bahwa anak usia lima tahun baru mulai sepenuhnya memahami konstruksi pasif, dan masih sulit untuk ditentukan apakah anak tersebut sudah dapat mengutarakan diri dengan kelimat di dalam konstruksi pasif. Selanjutnya menurut Palermo dan Molfese, usia antara 5-7 dan antara 12-14 merupakan titik transisi di dalam perkembangan bahasa; pada masa itu terjadi perubahan yang genting di dalam penguasaan bahasa. Pada Usia itu Seharusnya Penguasaan Bahasa Sudah Terbentuk atau Sempurna.

Leneeberg (1967 : 156 ) merinci tahap-tahapan perkembangan bahasa itu ke dalam mintakat-mintakat berikut :
Di sebuah Sekolah Dasar di Jakarta menunjukkan bahwa masih banyak di antara mereka yang belum menguasai struktur kalimat bahasa Indonesia secara sempurna, padahal usia mereka sudah berada di ambang pintu berakhirnya masa paling peka dan paling plastas di dalam proses pemerolehan bahasa. Jika ternyata benar bahwa penguasaan bahasa Indonesia siswa Sekolah Dasar di seluruh Indonesia memang seperti itu keadaanya , ini berarti bahwa akan semakin lebih sulit lagi pada tahun-tahun berikutnya bagi para pendidik untuk membenahi kemampuan berbahasa Indonesia siswa-siswa lulusan Sekolah Dasar.
            Jadi, kemampuan berbahasa yang dirasa kurang memadai bagi para siswa SD karena pembelajaran bahasa di SD tersebut masih kurang, bukan karena kemampuan anak-anak SD tersebut, melainkan metode pembelajaran bahasanya yang perlu kita tinjau kembali, sebab peranan guru juga sangat membantu dalam proses pembelajaran bahasa. Apa masalahnya? Masih terjadi kesalahan apa saja?
Masalah kesalahan berbahasa pada anak usia sekolah dasar terjadi karena tidak maksimalnya pengajaran bahasa di sekolah dasar. Lenneberg memaparkan, usia antara tiga dan sepuluh tahun adalah masa penyempurnaan kekurangan-kekurangan di dalam tata bahasa.[1] Pada masa itu rasa peka bahasa pada diri anak-anak mencapai titik optimal. Otak dapat berfungsi cukup mudah dan lentur di dalam mengatur segala sesuatu yang diperlukan dalam proses penguasaan bahasa. Namun, kondisi tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal di sekolah dalam hal pengajaran bahasa anak. Sedangkan, masih menurut hipotesis Lanneberg, perkembangan bahasa pada anak cenderung untuk menjadi beku setelah proses penyebelahan (lateralization). Proses penyebelahan ini berlangsung pada saat anak mencapai usia puber. Palermo dan Molfese pun berpendapat, usia lima dan tujuh tahun serta antara dua belas dan empat belas tahun merupakan titik transisi di dalam perkembangan bahasa, tidak dimanfaatkan secara maksimal bagi pengajaran bahasa.
Pengamatan Bambang Kaswanti Purwo terhadap tulisan (karangan) siswa kelas VI di sebuah Sekolah Dasar di Jakarta dapat dijadikan sebagai model dari kesalahan berbahasa anak usia sekolah dasar. Hasil pengamatannya menunjukkan, masih banyak di antara siswa yang belum menguasai struktur kalimat bahasa Indonesia secara sempurna. Padahal, usia mereka sudah berada di ambang pintu berakhirnya masa paling peka dan paling plastis dalam proses pemerolehan bahasa, masa emas untuk belajar bahasa. Jika hal ini terjadi pada seluruh siswa Sekolah Dasar di Indonesia, berarti akan semakin sulit lagi pada tahun-tahun berikutnya bagi para pendidik untuk membenahi kemampuan berbahasa Indonesia siswa lulusan Sekolah Dasar.
Dalam pengamatan tersebut, terdapat beberapa kesalahan berbahasa siswa usia sekolah dasar pada taraf morfologi dan sintaksis. Kesalahan berbahasa tersebut di antaranya:
      penggunaan afiks, misalnya -kan: Pada waktu kami masuk diberikan penjelasan-penjelasan bagaimana [....]; Jakarta telah kami keliling tiga hari. Kesalahan ini berada pada taraf morfologi.




BAB II
KAJIAN TEORI

2.1        Teori Psikolinguistik
1. Pemerolehan Bahasa
Teori pemerolehan bahasa, menampilkan berbagai hipotesis yang dijadikan dasar kajiannya. Beberapa di antara beraneka hipotesis yang muncul dirumuskan secara utuh dan mendalam serta dikaji dan diuji terutama oleh Krashen (1982; 1985). Lima hipotesis yang dikemukakan oleh Krashen bertalian terutama dengan pemerolehan bahasa kedua: hipotesis pemerolehan-pembelajaran, hipotesis urutan alamiah, hipotesis pemantau, hipotesis masukan, dan hipotesis saringan afektif.
Pemerolehan Pembelajaran
Krashen (1982:1; 1985:10) berpendapat bahwa ada dua cara yang masing-masing berdiri sendiri dalam mengembangkan kemampuan B2: pemerolehan dan pembelajaran. Pemerolehan adalah proses yang serupa dengan yang dilalui oleh anak dalam mengembangkan kemampuan B1-nya. Pemerolehan bahasa merupakan proses ambang sadar; pemeroleh bahasa biasanya tidak sadar bahwa ia tengah memperoleh bahasa, tetapi hanya sadar akan kenyataan bahwa ia tengah menggunakan bahasa untuk komunikasi. Hasil dari pemerolehan bahasa, yaitu kompetensi yang diperoleh, juga bersifat di ambang sadar.
Hipotesis Urutan Alamiah
Hipotesis urutan alamiah menyatakan bahwa kita memperoleh kaidah bahasa dengan urutan yang dapat diperkirakan. Kaidah tertentu cenderung muncul lebih dini daripada kaidah lainnya dalam pemerolehan bahasa itu. Anak-anak yang memperoleh bahasa Inggris sebagai bahasa kedua menunjukkan urutan alamiah bagi morfem gramatikal yang diperolehnya dengan tanpa dipengaruhi oleh bahasa pertamanya yang berbeda. Urutan pemerolehan B2 berbeda dari B1-nya menunjukkan keserupaan yang berarti. Urutan alamiah ini terlihat juga pada orang dewasa.
Hipotesis Pemantau
Hipotesis pemantau mengetengahkan bahwa pemerolehan dan pembelajaran digunakan dengan cara yang spesifik. Biasanya pemerolehan memprakarsai tuturan kita dan bertanggung jawab atas kefasihan kita. Adapun pembelajaran hanya mempunyai satu fungsi saja, yaitu sebagai pemantau atau penyunting. Pembelajaran hanya memainkan peran untuk mengubah bentuk tuturan kita, setelah diproduksi oleh sistem yang terperoleh. Hal ini dapat terjadi sebelum atau sesudah berbicara maupun menulis. Hipotesis ini menyiratkan bahwa kaidah formal, atau pembelajaran sadar, hanya memainkan peranan yang terbatas dalam performansi bahasa kedua.
Hipotesis Masukan
Hipotesis masukan menyatakan bahwa manusia itu memperoleh bahasa hanya dengan satu cara, yaitu dengan memahami pesan, atau dengan menerima masukan yang dipahami. Hipotesis masukan itu bertalian dengan pemerolehan bukan dengan pembelajaran. Dinyatakan bahwa kita memperoleh dengan memahami bahasa yang berisi struktur sedikit melintasi tingkat kompetensi yang ada. Hipotesis ini sejalan dengan apa yang dikenal sebagai tuturan penjaga (caretaker speech), yaitu modifikasi yang dilakukan oleh orang tua atau orang dewasa lainnya menakala berbicara dengan anak-anak. Tuturan penjaga itu dimodifikasi untuk membantu pemahaman.

Hipotesis Saringan Afektif
Hipotesis saringan afektif bertalian dengan perlunya “keterbukaan” dalam pemerolehan bahasa. Masukan yang dapat dipahami penting dalam pemerolehan tetapi tidak cukup itu saja. Si pemeroleh perlu terbuka terhadap masukan itu. Saringan afetif akan menghambat si pemeroleh bahasa dalam memanfaatkan masukannya. Apabila saringan itu jalan, si pemeroleh mungkin saja memahami apa yang dipersepsinya tetapi masukan itu tidak akan mencapai alat pemerolehan bahasa. Hal ini terjadi manakala si pemeroleh tidak termotivasi, kekurangan kepercayaan pada diri, atau merasa risi (anxious) terhadap lingkungannya.

2.2       Teori  Neuropsiologis
            Otak mereupakan organ manusia untuk berfikir, pernyataan ini sudah dikenal sejak abad ke-5 sebelum Masehi. Setelah ini barulah para ilmuan berminat untuk menyelidiki struktur otak manusi. Jadi fungsi otak tidak hanya untuk berfikir. Namun, pada pertengahan abad ke-17 sesudah Masehi ditemukan struktur otak manusia berkaitan dengan fungsi fisik dan mental. Pierre Paul Broca pada tahun 1861 adanya otak yang berhubungan dengan bahasa, Fritz dan Hitzig pada tahun 1870 yang membagi otak manusia menjadi dua bagian dan hubungan kedua bagian ini dengan kekidalan atau ketidakkidalan mahluk, serta Wernick pada tahun 1874 hubungan otak dengan pendengaran (auditory).
            Sesuai pernyataantersebut dapat diterima yaitu bahwa kemampuan manusia berbahasa itu merupakan suatu perpaduan antara strukturbiologis otak dengan lingkungan alam sekitar. Dari segi biologis otak manusia mempunyai bagian-bagian yang berbeda dengan otak binatang.
            Ketika seorang bayi lahir, ia hanya memiliki 40% dari otak orang dewasa, sedangkan makhluk lain 70% dari otak orang dewasa. Dari perbandingan ini Nampak bahwa manusia dikodratkan secara biologis untuk mngembangkan otak dan kemampuannya, secara drastis, sedangkan makhluk lain yang diberikan 70% otaknya tentunya sudah dapat berbuat sejak lahir, hanya memerlukan tambahan-tambahan sedikit saja.
            Pada otak manusia ada bagian-bagian yang sifatnya manusiawi, yakni, bagian-bagian yang berkaitan dengan pendengaran, ujaran, pengontrolan alat ujaran dan sebagainya. Jadi, yang membedakan manusia dengan binatang bukan hanya ukuran otaknya melainkan struktur dan fungsinya masing-masing.
            Perkembangan struktur otak sesuai dengan fungsi otak masing-masing. Otak manusia dibagi menjadi dua bagian bsgisn kanan (hemisfir kiri) dan bagian kiri (hemisfir kiri). Fungsi otak kanan digunakan sebagai pusat untuk mengontrol kesadaran letak tubuh dan anggota badan lainnya serta konsepsi mengenai ruang, tapi tida terkodratkan untuk pembentukan ide. Sedangkan otak kiri digunakan untuk mempentuk ide dan juga mempunya bagian-bagian untuk pengontrolan suara dan nampaknya ada kerja sama antara bagian-bagian ini.
            Di sini Broca juga mengatakan bahwa dasar ujaran tergantung pada empat factor: (1) sebuah ide, (2) hubungan konvensional antara ide dan kata, (3) cara penggandengan gerak artikulasi dengan kata, dan (4) penggunaan alat-alat artikulasi. Sedangkan wernick menemukan bahwa bagian belakang di sebelah agak kanan otak itu bersarang tanggapan-tanggapan rasa.  
            Di samping daerah Broca dan Wernicke, kelihatannya ada satu daerah lagi yang langsung berkaitan dengan yjaran. Daerah ini ditemukan oleh Penfield pada tahun 1950. Daerah yang di namakan daerah korteks superior (motoris suplementer) ini berdekatan dengan hemisfir kanan, agak kebelakang dari daerah Broca.
            Korteks superior ini mengontrol mekanisme kortikal yang di pakai untuk menggerakkan saraf-saraf penyuara. Saraf-saraf ini berbentuk suatu rentetan mekanisme di daerah Roland, berjajar menuju daerah Broca. Yang digerakkan adalah alat-alat penyuara seperti lidah, bibir, rahang, dan sebagainya.
            Dari uraian di atas sudah mulai jelas bahwa dari ketiga daerah di otak ini, daerah korteks superior adalah daerah yang paling kurang penting. Daerah Broca yang lebih kritis dan lebih penting dari pada daerah korteks superior. 
            Bambang mngatakan dalam bukunya (Ancangan Psikolinguistik dan Pengajaran Bahasa Pertama) bahawa kegiatan berbahasa mulai muncul pada anak usia antara dua dan tiga tahun itu tetap berlangsung terus dan subur antara usia tiga tahun dan awal remaja. Pada masa-masa itu tampak bahwa rasa peka-bahasa pada diri anak-anak mencapai titik optimalnya. Otak dapat berfungsi cukup mudah dan lentur di dalam mengatur segala sesuatu yang diperlukan di dalam proses penguasaan berbahasa. Kemudahan dan kelenturan fungsi otak seperti ini mulai menurun setelah si anak mengalami masa puber.
            Selama sepuluh atau sebelas tahun di dalam masa pemerolehan bahasa itu perkembangan bahasa pada diri anak mengalami tahap-tahap tertentu. Lenneberg (1967:156) merincikan tahap-tahap perkembangan bahasa itu ke dalam mintakat-mintakat berikut:
·         0 Belum ada bahasa (NO LANGUAGE)
·         1 Mintakat ke-1 kata-kata tunggal saja (ZONE 1-SINGLE WORDS ONLY)
·         2   Mintakat ke-2 dari frasa ke kalimat (ZONE 2-FROM PHRASES TO SENTENCES)
·         3 Mintakat ke-3-kesalahan tata bahasadi sana sini (ZONE KE-3-OCCASIONAL GRAMMER)
·         Bahasa sepenuhnya terbentuk (LANGUAGE FULLY ESTABLISHED)
Yang dimaksud lenneberg dengan “bahasa sepenuhnya terbentuk” pada anak usia lima tahun itu berkenaan dengan penguasaan berbahasa yang sudah bebas dari kesalahan-kesalahan bentuk yang mendasar (pada peringkat morfologi). Ia menagatakan juga bahwa masa antara tiga sampai sepuluh tahun merupakan masa penyempurnaan kekurangan-kekurangan di dalam tata bahasa dan masa pemerluasan kosa kata.

2.3        Teori  Morfologi
            Morfologi dapat dipandang sebagai subsistem yang berupa proses yang mengolah leksem menjadi kata. Leksem adalah satuan terkecil dalam leksikon. Kesalahan berbahasa dalam bidang morfologis sebagian besar berkaitan dengan dengan bahasa tulis. Proses morfologis yang terdapat dalam buku Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia terdapa enam proses yaitu:
  1.      Derivasi zero   : dalam proses ini leksem menjadi kata tunggal tanpa perubahan apa-apa:

  2.    2.   Afiksasi adalah proses yang mengubah leksem menjadi kata kompleks.

a)      Jenis afiks
1)      Prefiks, yaitu afiks yang diletakkan di muka dasar, contoh: me-, di-, ke-, ter-, pe-, per-, se-.
2)      Infiks, yaitu afiks yang diletakkan di dalam dasar, contoh: -el-, -er-, -em-, dan –in-.
3)      Sufiks, yaitu afiks yang diletakkan di belakang dasar, contoh :
–an-, -kan, -i.
4)      Simulfiks, yaitu afiks yang dimanifestasikan dengan cirri-ciri segmental yang dileburkan pada dasar.
5)      Konfiks, yaitu afiks yang terdiri dari dua unsur, satu di muka bentuk dasar an satu dibelakang bentuk dasar; dan berfungsi sebagai satu morfem terbagi.
Dalam bahasa Indonesia konfiks ke-an, pe-an, per-an, dan ber-an terlihat dalam:
1)      Keadaan
2)      Pengiriman
3)      Persahabatan
4)      Bertolongan
6) Superfiks atau suprafiks, yaitu afiks yang dimanifestasikan dengan cirri-ciri suprasegmental atau afiks afiks yang berhubungan dengan morfem suprasegmental. Afiks ini tidak ada dalam bahasa Indonesia.
7)  Kombinasi afiks, yaitu kombinasi dari dua afiks atau lebih yang bergabung dengan dasar. Afiks ini bukan jenis afiks yang khusus, dan hanya merupakan gabungan beberapa afiks yang mempunyai bentuk dan makna gramatikal tersendiri, muncul secara bersama pada bentuk dasar, tetapi berasal dari proses yang berlainan. Contoh:
a. memprkatakan         : sebuah bentuk dasar dengan kombinasi tiga afiks, dua prefix dan datu sufiks.
b. mempercayakan      : sebuah bentuk dasar dengan kombinasi dua afiks, satu prefix dan satu sufiks.
Dalam bahasa Indonesia kombinasi afiks yang lazim ialah me-kan, mei-I, memper-kan, memper-I, ber-kan, ter-kan, per-kan, pe-an, dan se-nya.

3.     3.  Reduplikasi     : dalam proses ini leksem berubah menjadi kata komples dengan berapa macam proses pengulangan.
Ada tiga macam bentuk reduplikasi, yaitu:
1.      Reduplikasi fonologis
Di dalam reduplikasi fonologis tidak terjadi perubahan makna, karena pengulangannya hanya bersifat fonologis artinya bukan atau tidak ada pengulangan leksem. Bentuk-bentuk dada, pipi, kuku, paru-paru, dan sebagainya termasuk bentuk reduplikasi fonilogis.
2.      Reduplikasi morfemis
Dalam reduplikasi morfemis terjadi perubahan makna gramatikal atas leksem yang diulang, sehingga terjadilah satuan yang berstatus kata.
3.      Reduplikasi sintaksis
Reduplikasi sintaksis adalah proses yang terjadi atas leksem yang menghasilkan satuan yang berstatus klausa, jadi berada diluar cakupan morfologi. Contoh:
Jauh-jauh, didatangi juga rumah sahabat lamanya itu.
Asam-asam, dimakannya juga mangga itu.

4.      4. Abreviasi (pemendekan) adalah proses penanggalan satu atau beberpa bagian leksem atau kombinasi leksem sehingga jadilah bentuk baru yang berstatus kata. Dalam proses ini lesksem atau gabungan leksem menjadi kata kompleks atau akronim atau singkatan dengan pembagai proses abreviasi.
Ada beberapa jenis abrebiasi: 
a)      Pemenggalan
b)      Kontraksi
c)      Akronimi
d)     penyingkatan
5.      5. Komposisi (perpaduan) adalah perpaduan atau pemajemukan atau komposisi proses penggabungan dua leksem atau lebih yang membentuk kata. Dalam proses ini dua leksem atau lebih berpadu dan outputnya adalah paduan leksem atau kompositum dalam tingkat morfologi atau kata majemuk dalam tingkat sintaksis; dan bagannya adalah:
 







            Kompositum itu dibagi atas lima golongan:
a)      Kompositum subordinatif substantif
b)      Kompositum subordinatif atributif
c)      Kompositum koordinatif
d)     Kompositum berpoleksem
e)      Kompositum sintetis

6.    6.   Derivasi balik proses pembentukan kata karena bahasawan membentuknya berdasarkan pola-pola yang ada tanpa mengenal unsur-unsurnya. Dalam proses ini inputnya leksem tunggal, dan outputnya kata kompleks. Kejadiannya seperti afiksasi. Akibatnya terjadi bentuk yang secara historis tidak diramalkan. Contoh pembentukan kata itu adalah:
1)      Kata pungkir dalam dipungkiri yang dipakai orang karena mengira bentuk itu merupakan padanan pasif dari memungkiri (padahal kata pungkir tidak ada yang ada adalah kata mungkir, dan ini kita ketahui karena kata ini berasal dari kata bahasa Arab). Terjadinya mungkir ß pungkir didasarkan pada pola peluluhan fonem dalam pasang à memasang à dipasang.
Minta   à pnta
Mohom à pohon
Maju    à paju

2)      Kata kerik dalam diketik dipaki orang karena dikira bentuk itu merupakan padanan pasif dari mengetik (padahal di sini tidak tidak terjadi proses peluluhan fonem /k/ seperti dugaan orang, melainkan terjadi proses pemunculan /ŋə/. Terjadinya tik ß ketik disasrkan pada pola peluluhan fonem.
3)      Kata tikah dalam ditikahkeun (bahasa Sunda) digunakan orang karena dikira pentuk itu merupakan padanan pasif dari menikah.
4)      Bentuk pengapakan dalam dipengapakan pun dapat dipandang sebagai derivasi balik yakni bentuk yang terjadi lewat mengapakan. Bentuk yang “betul” tentu saja ialah diapakan..

   2.4      Teori  Sintaksis
a. Struktur Sintaksis
Strukttur sintaksis terdiri dari; bentuk, kategori, fungsi, dan peran
Bentuk kalimat dasar:
·         S-P
·         S-P-O
·         S-P-Pel
·         S-P-Ket
·         S-P-O-Pel
·         S-P-O-Ket

Kategori :
·         Nomina
·         Verba
·         Adjektiva
·         Adverbia, dsb
Fungsi:
·         Subjek
·         Predikat
·         Objek
·         Pelengkap
·         Keterangan

Peran:
·         Pelaku
·         Perbuatan
·         Sasaran
·         Peruntung
·         Waktu
Struktur sintaksis yang terdiri dari; bentuk, kategori, fungsi, dan peran tidak ada hubungan satu lawan satu. Fungsi merupakan suatu “tempat” dalam struktur kalimat dengan unsur pengisi berupa bentuk (bahasa) yang tergolong dalam kategori tertentu dan mempunyai peran semantis tertentu pula.
Pola kalimat dasar
        Fungsi
Tipe
Subjek
predikat
objek
pelengkap
Keterangan
1. S – P
Mahasiswa itu
sedang wawancara
-
-
-

Saya
penari
-
-
-
2. S-P-O
UNJ
menerima
Mahasiswa baru
-
-

Kami
mendapat
Beasiswa
-
-
3. S-P-Pel
Paman saya
Menjadi
-
ketua koperasi
-

Pancasila
merupakan
-
dasar Negara kita
-
4. S-P-Ket
Anak kecil  
Tinggal
-
-
di jalanan

Kebakaran itu
Terjadi
-
-
31 Mei 2010
5. S-P-O-Pel
Ayah
mengirimi
ibunya
uang
-

Angel
mengambilkan
Ayahnya
Majalah
-
6. S-P-O-Ket
Pak Burhan
memasukkan
Uang
-
ke Bank

Pak kepsek
menerima
kami
-
dengan senag hati


Jenis kalimat
Jenis kalimat dapat dibedakan berdasarkan berbagai kriteria atau sudut pandang, yaitu:
1.   Kalimat inti adalah kalimat yang dibentuk dari klausa inti yang lengkap, bersifat deklaratif, aktif, dan netral atau afirmatif. Dalam bahasa Indonsia dikenal kalimat inti dengan pola sebagai berikut:
FN + FV                     : Ibu mencari
FN + FV + FN            : Bibi memberi sayuran
FN + FV + FN + FN  : kakak membacakan adik dongeng
FN + FN                     : Ayah guru
FN + FA                     : gula manis
FN + FNum                : Uangnya seratus ribu
FN + FPrep                 : sepetunya di rak
Pola kalimat dasar dilihat dari fungsi, sedangkan kalimat inti dilihat dari kategori.
Kalimat noninti
Kalimat inti dapat diubah menjadi kalimat noninti dengan berbagai proses transformasi seperti: pemasifan, pengingkaran, pertanyaan, perintah, penginversian, pelesapan, dan penambahan.
Proses pengubahan dari kalimat inti menjadi kalimat noninti, secara umum mengikuti proses berikut:
Kalimat inti   +   proses transformasi           kalimat noninti
Contoh:     Buku dibaca oleh Rina.
                  Rina tidak membaca buku.
                  Apakah Rina membaca buku?
                  Membaca buku Rina.
Struktur sintaksis tidak bisa kita lepaskan dari masalah fungsi sintaksis, kategori sintaksis, dan peran sintaksis. Ketiganya tidak dapat kita pisahkan. Subjek, predikat, objek, dan keterangan merupakan peristilahan yang berkenaan dengan fungsi sintaksis. Nomina, verba, ajektiva, dan numeralia adalah peristilahan yang berkenaan dengan kategori sintaksis, sedangkan peristilahan yang terdapat pada peran sintaksis adalah pelaku, penderita, dan penerima.
            Secara umum, struktur sintaksis itu terdiri dari susunan subjek (S), predikat (P), objek (O), dan keterangan (K). Fungsi-fungsi sintaksis yang terdiri dari unsure-unsur S, P, O, dan K itu merupakan kotak-kotak kosong yang tidak mempunyai arti apa-apa karena kekosongannya. Tempat-tempat kosong itu akan diisi oleh sesuatu yang berupa kategori dan memiliki peranan tertentu.
            Dalam struktur sintaksis, keempat fungsi sintaksis tidak harus selalu ada. Banyak pakar mengatakan bahwa suatu struktur sintaksis minimal harus memiliki fungsi subjek dan fungsi predikat. Tanpa fungsi subjek dan fungsi predikat, konstruksi itu belum dapat disebut sebagai sebuah struktur sintaksis. Sedangkan objek dan keterangan boleh tidak muncul, apalagi kemunculan objek ditentukan alaeh tarnsitif atau tidaknya verba yang mengisi fungsi predikat, dan fungsi keterangan hanya muncul apabila diperlukan.
            Djoko Kentjono menyatakan, hadir tidaknya suatu fungsi sintaksis tergantung pada konteksnya. Seperti, dalam kalimat jawaban kalimat perintah, dan kalimat seruan, maka yang muncul hanyalah fungsi yang menyatakan jawaban, perintah, atau seruan itu.
            Para ahli tata bahasa tradisional berpendapat bahwa fungsi subjek harus diisi oleh kategori nomina, fungsi predikat harus diisi oleh kategori verba, fungsi objek harus diisi oleh kategori nomina, dan fungsi keterangan harus selalu diisi oleh kategori adverbial. Akibat pandangan ini, maka kalimat (1) Dia guru adalah salah, karena tidak ada predikatnya. Yang benar seharusnya adalah kalimat 1 diberi kata adalah atau menjadi sehingga kalimat menjadi (2) Dia dalah guru atau (3) Dia menjadi guru.
            Kata adalah merupakan verba kopula yang sepadan dengan to be dalam bahasa inggris. Secara deskriptif dalam bahasa inggris kata kerja to be ini harus selalu digunakan dalam konstruksi seperti he is a driver, tetapi dalam bahasa Indonesia kata adalah bisa dilesapkan menjadi konstruksi seperti kalimat 1 di atas.
            Makna gramatikal unsur-unsur leksikal yang mengisi fungsi-fungsi sintaksis sangat tergantung pada tipe atau jenis kategori kata yang mengisi fungsi predikat dalam struktur sintaksis itu. Jika predikatnya diisi oleh verba transitif makan, misalnya, maka pengisi fungsi subjek akan berperan “ pelaku” dan pengisi fungsi objek akan berperan “sasaran”.
Alat Sintaksis
            Eksistensi struktur sintaksis terkecil ditopang oleh urutan kata, bentuk kata, dan intonasi atau dapat ditambah dengan konektor yang biasanya berupa konjungsi. Peranan ketiga alat sintaksis itu (urutan kata, bentuk kata dan intonasi) tidaka sama antara bahasa satu dengan bahasa yang lain. Ada bahasa yang lebih mementingkan urutan kata, ada juga  yang lebih mementingkan bentuk kata, tetapi ada juga yang lebih mementingkan intonasi.
Urutan Kata
            Urutan kata adalah letak atau posisi kata yang satu dengan kata yang lain dalam suatu konstruksi sintaksis. Dalam bahasa Indonesia uurutan kata ini memegang peranan yang sangat penting. Perbedaan urutan kata dapat menimbulkan perbedaan makna. Sebagai contoh, konstruksi tiga jam memiliki makna yang tidak sama denga konstruksi yang mempunyai urutan jam tiga. Contoh lain perbedaan makna antara konstruksi ibu memanggil ayah  dengan ayah memanggil ibu. Perbedaannya adalah, pada kalimat pertama ibu menjadi pelaku perbuatan, dan ayah menjadi sasaran perbuatan. Sedangkan dalam kalimat kedua, ayah menjadi pelaku dan ibu menjadi sasaran. Perbedaan makna pelaku dan sasaran itu terjadi karenaletak urutan kata ibu dan  ayah dipertukarkan.
            Jika dalam bahasa Indonesia urutan kata itu sangat penting, meskipun sampai tahap tertentu urutan itu dapat diubah, tetapi dalam beberapa bahasa lain,terutama dalam bahasa-bahasa berfleksi seperti bahasa latin, urutan kata itu sangat tidak penting. Artinya,urutan kata itu dapat dipertukarkan tanpa mengubah makna gramatikal kalimat.
            Dalam bahasa latin dan bahasa fleksi lainnya, yang memegang peranan penting dalam sintaksis bukanlah urutan kata, melainkan bentuk kata. Sebuah kata yang sama dalam bahasa fleksi mempunyai bentuk-bentuk yang berbeda, untuk menduduki fungsi subjek, predikat, objek,dan fungsi lainnya. Jadi, meskipun letaknya tidak beraturan tetapi makna gramatikalnya tidak akan berubah dan tidak akan terjadi kesalahpahaman karena sudah ditentukan bentuknya. 
Bentuk Kata
            Dalam bahasa Indonesia ternyata bentuk kata juga sangat penting. Seperti jika kata memanggil pada kalimat  ibu memanggil ayah  diganti dengan kata dipanggil sehingga kalimat itu menjadi ibu dipanggil ayah maka makna kalimat itu pun akan berubah. Derajat pentingnya bentuk kata bahasa Indonesia dan bahasa latin tidak sama.Dalam bahasa latin bentuk kata berperan sangat mutlak, sedangkkan dalam bahasa Indonesia tidak. Hal ini terjadi karena dalam bahasa latin urutan kata hampir tidak mempunyai peranan, sedangkan dalam bahasa Indonesia urutan kata mempunyai peranan yang sangat penting. Fungsi subjek dalam kalimat bahasa Indonesia lebih umum ditentukan oleh urutan kata atau posisi kata daripada bentuk katanya.
intonasi
            Alat sintaksis yang ketiga, yaitu intonasi di dalam bahasa tulis tidak dapat digambarkan secara akurat dan teliti sehingga menimbulkan kesalah pahaman. Intonasi memiliki peran yang penting dalam semua bahasa. Perbedaan modus kalimat bahasa Indonesia lebih ditentukan oleh intonasinya daripada komponen segmentalnya.
            Batas antara subjek dan predikat dalam bahas Indonesia biasanya ditandai dengan intonasi berupa nada naik dan tekanan. Oleh karena itu, kalau konstruksi kalimat guru sejarah baru diberi tekanan sebagai bata subjek dan predikat pada tempat yang berbeda, maka kalimat tersebut akan memiliki makana garamatikal yang berbeda.
Konektor
            Alat sintaksis yang keempat, adalah konektor, yang biasanya berupa sebuah morfem atau gabungan morfem yang secara kuantitas merupakan kelas yang tertutup. Konektor bertugas menghubungkan satu konstituen dengan konstiuten lain, baik yang berada dalam kalimat maupun yang berada di luar kalimat.
            Dari sifat hubungannya, konektor dibedakan menjadi dua, yaitu: 
a. Konektor koordinatif
Konektor koordinatif adalah konektor yang menghubungkan dua buah konstituen yang sama kedudukannya atau yang sederajat. Konjungsi koordinatif seperti dan, atau, dan tetapi dalam bahasa Indonesia adalah konektor koordinatif.
b. Konektor Koordinatif
Konektor koordinatif adalh konektor yang menghubungkan dua buah konstituen yang kedudukannya tidak sederajat. Maksudnya, konstituen yang satu merupakan konstituen atasan dan konstituen yang lain menjadi konstituen bawahan. Konjungsi kalau, meskipun,, dank arena dalam bahasa Indonesia adalah contoh konektor subordinatif.



BAB III
METODOLOGI
Sumber karangan ini berasal dari siswa kelas 5 SD Rawa Bunga 12 Pagi yang bernama Sahal. 
Kebersihan Lingkungan
            Di tempat kami tinggal setiap 1 bulan sekali  diadakan kebersihan lingkungan. Yang di ketuai oleh pak Rt setiap akan diadakan kebersihan. Pak Rt sebelumnya menyebarkan surat kepada warganya masing-masing untuk pemberitahuan akan diadakan kebersihan lingkungan /kerja bakti.
            Kerja bakti akan diadakan setiap hari minggu jam 07.00 pg masing masing warganya dianjurkan berkumpul ditempat yg pak Rt tentukan. Masing masing warga dianjurkan membawa alat alat seperti : sapu lidi, pacul, pengki, alat alat itu untuk digunakan membersihkan sampah sampah yg ada dihalaman rumah warga setempat danada yg di saliran air seperti : sampah pelastik, sampah kaleng, dan kayu-kayu.
            Setelah membersihkan saluran air lalu warga membersihkan jalanan ditempat kami tinggal kami sampah sampah yang sudah di kumpulkan lalu dimasukan ke dalam karung yang sudah disediakan. Lalu diangkut oleh mobil dinas kebersihan. Setelah diangkut warga beristirahat lalu pak Rt datang pak Rt sungguh senang karena lingkungan jadi bersih. 
3.1 Analisis Morfologi
Paragraf 1.
Di tempat kami tinggal setiap 1 bulan sekali  diadakan kebersihan lingkungan. Yang di ketuai oleh pak Rt setiap akan diadakan kebersihan. Pak Rt sebelumnya menyebarkan surat kepada warganya masing-masing untuk pemberitahuan akan diadakan kebersihan lingkungan /kerja bakti.
Dekontekstualisasi:
1. Di tempat kami tinggal setiap 1 bulan sekali  diadakan kebersihan lingkungan.
Analisis :
Morfologis : dalam kalimat tersebut terdapat kesalahan morfologis pada tataran :
·         Afiks: yaitu penggunaan imbuhan di-kan pada kata diadakan seharusnya mengadakan karena membuat jadi.
Sintaksis : dari segi sintaksis  kalimat tersebut terdapat satu klausa,kesalahan pada kalimat tersebut adalah pada aspek urutan kata. Seharusnya menjadi
Di tempat kami tinggal setiap satu  bulan sekali  mengadakan kebersihan lingkungan.

2. Yang di ketuai oleh pak Rt setiap akan diadakan kebersihan.
Analisis :
Morfologi : dalam kalimat tersebut terdapat kesalahan morfologis pada tataran :
·         Afiks : yaitu penggunaan imbuhan ke-i pada kata ketuai. seharusnya ketua karna mengandung makna ‘yang di. Dan  imbuhan di-kan pada kata diadakan seharusnya mengadakan karna memgandung makna menbuat jadi.
Sintaksis :        dari segi sintaksis  kalimat tersebut terdapat satu klausa. Kesalahan pada kalimat tersebut adalah pada aspek bentuk kata. Seharusnya
 pak Rt menjadi ketua setiap mengadakan kebersiahan.

3. Pak Rt sebelumnya menyebarkan surat kepada warganya masing masing untuk pemberitahuan akan diadakan kebersihan lingkungan /kerja bakti.
Analisis :
Morfologi : dalam kalimat tersebut terdapat kesalahan morfologis pada tataran :
·         Afiks: penggunaan pronomina pada kata sebelumnya, penggunaan –nya menunjukan kepemilikan, sedangkan pada kata tersebut masih merujuk pada kata pronomina Aku. Sehingga kurang memiliki kesinambungan. Seharusnya kata yang tepat untuk kalimat di atas menjadi sebelum itu, ada penambahan pronominal petunjuk. Dan pada imbuhan di-kan pada kata diadakan seharusnya mengadakan karna memgandung makna menbuat jadi.
·         Reduplikasi : pengulangan leksem (dwilingga) pada kata masing masing seharusnya masing-masing, diberi tanda (-)
Sintaksis :   dari segi sintaksis kalimat tersebut terdapat dua klausa yang dihubungkan dengan atau, dan terdapat kesalahan pada aspek tuturan kata. seharusnya
sebelum mengadakan kebersihan lingkungan atau keja bakti pak Rt mnyebarkan surat kepada masing-masing warganya.
Paragraf 2. 
Kerja bakti akan diadakan setiap hari minggu jam 07.00 pg masing masing warganya dianjurkan berkumpul ditempat yg pak Rt tentukan. Masing masing warga dianjurkan membawa alat alat seperti : sapu lidi, pacul, pengki. alat alat itu untuk digunakan membersihkan sampah sampah yg ada dihalaman rumah warga setempat danada yg di saliran air seperti : sampah pelastik, sampah kaleng, dan kayu-kayu.
Dekontekstualisasi :
1. Kerja bakti akan diadakan setiap hari minggu jam 07.00 pg masing masing warganya dianjurkan berkumpul ditempat yg pak Rt tentukan.
Analisis :
Morfologi : dalam kalimat tersebut terdapat kesalahan morfologis pada tataran :
·         Afiks : pada imbuhan di-kan pada kata diadakan seharusnya mengadakan karna memgandung makna menbuat jadi.dan kata pg seharusnya pagi tidak ada singkatan. Dan kesalahan pronominal pada kata warganya penggunaan –nya menunjukan kepemilikan, sedangkan pada kata tersebut masih merujuk pada kata pronomina Aku. Sehingga kurang memiliki kesinambungan. Seharusnya kata yang tepat untuk kalimat di atas yaitu warga tidak ada penambahan. Dan pada imbuhan di-kan pada kata diaanjurkan seharusnya menganjurkan karna memgandung makna menbuat jadi.
·         Reduplikasi : pengulangan leksem (dwilingga) pada kata masing masing seharusnya masing-masing, diberi tanda (-)
Sintaksis :        dari segi sintaksis kalimat tersbut memiliki 2 klausa yang dihubungkan oleh konjungsi penjumlahan (dan). Kesalahan pada kalimat tersebut adalah pada aspek urutan kata.
Pak Rt mengadakan kerja bakti setiap hari minggu jam 07.00 pagi dan menganjurkan kepada warganya agar berkumkumpul pada tempat yang telah ditentukan
2. Masing masing warga dianjurkan membawa alat alat seperti : sapu lidi, pacul, pengki.
Morfologi : dalam kalimat tersebut terdapat kesalahan morfologis pada tataran :
·         Reduplikasi : pengulangan leksem (dwilingga) pada kata masing masing dan alat alat seharusnya masing-masing dan alat-alat, diberi tanda (-),
·         Afiks :  pada imbuhan di-kan pada kata diaanjurkan dalam kalimat di atas kurang berkesinambungan. Seharusnya di ganti menjadi diharuskan karna memgandung sungguh-sungguh.
Sintaksis :        dari segi sintaksis kalimat tersbut memiliki satu klausa, kesalahan pada kalimat terdapat pada urutan kata. Seharusnya :
Masing-masing warga diharuskan membawa alat-alat seperti : sapu lidi, pacul dan pengki.          
3. alat alat itu untuk digunakan membersihkan sampah sampah yg ada dihalaman rumah warga setempat dan ada yg di saluran air seperti : sampah pelastik, sampah kaleng, dan kayu-kayu.
Analisis :
Morfologi : dalam kalimat tersebut terdapat kesalahan morfologis pada tataran :

·         Reduplikasi : pengulangan leksem (dwilingga) pada kata alat alat dan sampah sampah seharusnya alat-alat dan sampah-sampah, diberi tanda (-),
·         Afiks : pada kata yg seharusnya yang tidak ada singkatan, dan kata ada seharusnya berada, karna menunjukan keberadaan. Penambahan prefiks ber-
Sisntaksis: dari segi sintaksis kalimat tersebut memiliki dua klausa dan memiliki kesalahan dalam urutan kata, seharysnya kata untuk  meyatakan tujuan (konjungsi) diletakan setelah predikat.
Alat-alat itu digunakan untuk membersihkan sampah-sampah yang berada di halaman rumah warga setempat dan ada yang di saluran air seperti sampah pelastik, sampah kaleng, dan kayu-kayu.

Paragraf 3
Setelah membersihkan saluran air lalu warga membersihkan jalanan ditempat kami tinggal kami sampah sampah yang sudah di kumpulkan lalu dimasukan ke dalam karung yang sudah disediakan. Lalu diangkut oleh mobil dinas kebersihan. Setelah diangkut warga beristirahat lalu pak Rt datang pak Rt sungguh senang karena lingkungan jadi bersih. 
Dekontektualisasi :
1.      Setelah membersihkan saluran air lalu warga membersihkan jalanan ditempat kami tinggal kami sampah sampah yang sudah di kumpulkan lalu dimasukan ke dalam karung yang sudah disediakan.  
Analisis :
Morfologi : dalam kalimat tersebut terdapat kesalahan morfologis pada tataran :
·         Afiks : pada imbuhan prefiks di- pada kata ditempat seharussnya di tempat, dan kata di kumpulkan seharusnya dikumpulkan.
·         Reduplikasi : pengulangan leksem (dwilingga) pada kata sampah sampah seharusnya sampah-sampah, diberi tanda (-),
Sintaksis :        pada kalimat tersebut kesalahan pada tataran sintaksis yang dilakukan adalah pada urutan kata yang digunakan (alat sintaksis). Kalimat tersbut memiliki urutan kata yang tidak sistematis. Kalimat tersebut terdiri dari 3 klausa yang dihubungkan oleh konjungsi, dalam penempatan konjungsi juga terdapat kata yang kurang baku seperti kata lalu seharusnya kemudian, dan kata sudah seharusnya telah, namun kalimat tersebut kurang kohesi dan koheren. Seharusnya kalimat tersebut:
Setelah membersihkan saluran air kemudian warga membersihkan jalanan di tempat kami tinggal, sampah samp[ah yang telah dikumpulkan kemudian dimasukkan ke dalam karung yang telah di sediakan. 
2.      Lalu diangkut oleh mobil dinas kebersihan.
Analisis :
Morfologi :      dalam kalimat tersebut tidak terdapat kesalahan morfologis.
Sintaksis :        dari segi sintaksis kalimat tersebut juga tidak memiliki kesalahan sintaksis. 

3.      Setelah diangkut warga beristirahat lalu pak Rt datang pak Rt sungguh senang karena lingkungan jadi bersih.
Analisis :
Morfologis : dalam kalimat tersebut terdapat kesalahan morfologis.
·         Afiks : pada kata jadi seharusnya menjadi ada penambahan apiks me- menyatakan membuat jadi.
Sintaksis : pada kalimat tersebut kesalahan pada tataran sintaksis yang dilakukan adalah pada urutan kata yang digunakan (alat sintaksis).
                        penghilSeharusnya dalam kalimat tersebut :
Setelah diangkut warga beristirahat, lalu pak Rt datang, ia sungguh senang karena lingkungannya menjadi bersih.


Rekapitulasi Kesalahan Berbahasa


1.        Rekapitulasi Analisis Kesalahan Morfologi  
a.       Kesalahan Morfologis
No.
Paragraf Pertama
Kalimat
Jenis Kesalahan Morfologis
Afiksasi
Reduplikasi
1.
Di tempat kami tinggal setiap 1 bulan sekali  diadakan kebersihan lingkungan. Yang di ketuai oleh pak Rt setiap akan diadakan kebersihan. Pak Rt sebelumnya menyebarkan surat kepada warganya masing-masing untuk pemberitahuan akan diadakan kebersihan lingkungan /kerja bakti.  






1.Di tempat kami tinggal setiap 1 bulan sekali  diadakan kebersihan lingkungan.
2. Yang di ketuai oleh pak Rt setiap akan diadakan kebersihan.
3. Pak Rt sebelumnya menyebarkan surat kepada warganya masing-masing untuk pemberitahuan akan diadakan kebersihan lingkungan /kerja bakti  




-






Jumlah

3
1

Dari tabel di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada paragraf pertama yang terdiri dari tiga kalimat, ditemukan empat kesalahan morfologis yaitu tiga penggunaan afiksasi yang tidak tepat dan satu reduplikasi.
Paragraf Kedua
Kalimat
Jenis Kesalahan Morfologis
Afiksasi
Reduplikasi
Kerja bakti akan diadakan setiap hari minggu jam 07.00 pg masing masing warganya dianjurkan berkumpul ditempat yg pak Rt tentukan. Masing masing warga dianjurkan membawa alat alat seperti : sapu lidi, pacul, pengki. alat alat itu untuk digunakan membersihkan sampah sampah yg ada dihalaman rumah warga setempat danada yg di saliran air seperti : sampah pelastik, sampah kaleng, dan kayu-kayu.

1.Di tempat kami tinggal setiap 1 bulan sekali  diadakan kebersihan lingkungan.
2. Yang di ketuai oleh pak Rt setiap akan diadakan kebersihan.
3. Pak Rt sebelumnya menyebarkan surat kepada warganya masing-masing untuk pemberitahuan akan diadakan kebersihan lingkungan /kerja bakti.










Jumlah

3
3

Dari tabel di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada paragraf kedua yang terdiri dari tiga kalimat, ditemukan enam kesalahan morfologis yaitu tiga penggunaan afiksasi yang tidak tepat dan tiga reduplikasi.

Paragraf Ketiga
Kalimat
Jenis Kesalahan Morfologis
Afiksasi
Reduplikasi
Setelah membersihkan saluran air lalu warga membersihkan jalanan ditempat kami tinggal kami sampah sampah yang sudah di kumpulkan lalu dimasukan ke dalam karung yang sudah disediakan. Lalu diangkut oleh mobil dinas kebersihan. Setelah diangkut warga beristirahat lalu pak Rt datang pak Rt sungguh senang karena lingkungan jadi bersih.
1. Setelah membersihkan saluran air lalu warga membersihkan jalanan ditempat kami tinggal kami sampah sampah yang sudah di kumpulkan lalu dimasukan ke dalam karung yang sudah disediakan.
2. Lalu diangkut oleh mobil dinas kebersihan.
3. Setelah diangkut warga beristirahat lalu pak Rt datang pak Rt sungguh senang karena lingkungan jadi bersih.







-









-
Jumlah

2
1

Dari tabel di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada paragraf kedua yang terdiri dari tiga kalimat, ditemukan tiga kesalahan morfologis yaitu dua penggunaan afiksasi yang tidak tepat dan satu reduplikasi.

b.        Rekapitulasi Analisis Kesalahan sintaksis
No.
Paragraf Pertama
Kalimat
Jenis Kesalahan Sintaksis
1
2
3
4
5
1.
Di tempat kami tinggal setiap 1 bulan sekali  diadakan kebersihan lingkungan. Yang di ketuai oleh pak Rt setiap akan diadakan kebersihan. Pak Rt sebelumnya menyebarkan surat kepada warganya masing-masing untuk pemberitahuan akan diadakan kebersihan lingkungan /kerja bakti. 



Di tempat kami tinggal setiap 1 bulan sekali  diadakan kebersihan lingkungan.
-
-
-
-
Yang di ketuai oleh pak Rt setiap akan diadakan kebersihan.
-
-
-
-
Pak Rt sebelumnya menyebarkan surat kepada warganya masing-masing untuk pemberitahuan akan diadakan kebersihan lingkungan /kerja bakti.
-
-
-
-

Dari tabel di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada paragraf pertama yang terdiri dari tiga kalimat, ditemukan tiga kesalahan sintaksis yaitu satu kesalahan penggunaan bentuk kata, dua  kesalahan dalam urutan kata.

No.
Paragraf kedua
Kalimat
Jenis Kesalahan Sintaksis
1
2
3
4
5
1.
Kerja bakti akan diadakan setiap hari minggu jam 07.00 pg masing masing warganya dianjurkan berkumpul ditempat yg pak Rt tentukan. Masing masing warga dianjurkan membawa alat alat seperti : sapu lidi, pacul, pengki. alat alat itu untuk digunakan membersihkan sampah sampah yg ada dihalaman rumah warga setempat danada yg di saliran air seperti : sampah pelastik, sampah kaleng, dan kayu-kayu.


Kerja bakti akan diadakan setiap hari minggu jam 07.00 pg masing masing warganya dianjurkan berkumpul ditempat yg pak Rt tentukan.
-
-
-
-
Masing masing warga dianjurkan membawa alat alat seperti : sapu lidi, pacul, pengki.
-
-
-
-
alat alat itu untuk digunakan membersihkan sampah sampah yg ada dihalaman rumah warga setempat danada yg di saliran air seperti : sampah pelastik, sampah kaleng, dan kayu-kayu.

-
-
-
-

Dari tabel di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada paragraf kedua yang terdiri dari tiga kalimat, ditemukan tiga kesalahan sintaksis yaitu satu kesalahan penggunaan alat sisntaksis, satu kesalahan bentuk urutan dan satu kesalahan bentuk konektor.
No.
Paragraf ketiga
Kalimat
Jenis Kesalahan Sintaksis
1
2
3
4
5
1.
Setelah membersihkan saluran air lalu warga membersihkan jalanan ditempat kami tinggal kami sampah sampah yang sudah di kumpulkan lalu dimasukan ke dalam karung yang sudah disediakan. Lalu diangkut oleh mobil dinas kebersihan. Setelah diangkut warga beristirahat lalu pak Rt datang pak Rt sungguh senang karena lingkungan jadi bersih.



Setelah membersihkan saluran air lalu warga membersihkan jalanan ditempat kami tinggal kami sampah sampah yang sudah di kumpulkan lalu dimasukan ke dalam karung yang sudah disediakan.
-
-
-
-
Lalu diangkut oleh mobil dinas kebersihan.

-
-
-
-
Setelah diangkut warga beristirahat lalu pak Rt datang pak Rt sungguh senang karena lingkungan jadi bersih.

-
-
-
-

Dari tabel di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada paragraf  ketiga yang terdiri dari tiga kalimat, ditemukan dua kesalahan sintaksis yaitu dua kesalahan penggunaan alat sisntaksis.
Keterangan :
1          : Alat sintaksis    3       : bentuk kata   5  : intonasi
2          : urutan kata ,     4      : konektor

Temuan   
            Berdasarkan karangan siswa kelas 5 SD ditemukan kesalahan dalam proses morfologi dan sintakis. Kesalah morfologis yaitu proses afiksasi dan reduplikasi. Kesalahan afiksasi sebanyak  8 kalimat dan reduplikasi sebanyak 5 kalimat. Kesalahan sintaksis yaitu berupa alat sintaksis, bentuk kata, urutan kata dan konektor. Kesalahan alat sistaksis sebanyak 4 kalimat, kesalahan bentuk kata sebanyak satu kalimat, kesalahan urutan kata sebanyak 3 kalimat, dan kesalahan konektor 1 kalimat. Dalam morfologis kesalahan yang paling banyak adalah bentuk afiksasi, sedangkan kesalahan sintaksis yang paling banyak terdapat pada alat sisntaksis. 


Kesimpulan

Berdasarkan temuan di atas maka kajian analisis kesalahan berbahasa terhadap karangan siswa kelas V dapat disimpulkan sebagai berikut: analisis di atas terdapat banyak kesalahan secara morfologis dan sintaksis, yakni terdapat dua kesalahan morfologis pada paragraph pertama, kedua, dan ketiga  yaitu berupa kesalahan afiksasi. Dan kesalahan yang lainnya secara morfologi ada kesalahan reduplikasi terdapat pada kalimat satu dan kesalahan penulisan kata sebanyak dua kesalahan.
Selanjutnya kesalahan sintaksis hampir terjadi hamper di semua kalimat. Kesalahan umumnya terjadi pada tataran kalimat, alat sisntaksis sedangkan secara khusus kesalahan yang terjadi berupa kesalahan pembentukan frasa, penggunaan konjungsi yang tidak tepat dan urutan kata serta bentuk kata yang tidak koheren dan koherensi.