Sabtu, 08 Oktober 2011

ANALISIS NILAI ESTETIK DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN FEMINISME


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah

Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat. Melalui sastra, terutama novel kita dapat mengerti lebih banyak mengenai kehidupan manusia. Suatu karya sastra dapat memperkaya wawasan pembaca dengan berbagai sudut pandang seperti psikologi, sejarah, sosial, politik, dan antropologi. Sastra menyajikan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah “kebenaran” penggambaran, atau yang hendak digambarkan. Namun Wellek dan Werren mengingatkan, bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya.
Hal ini disebabkan fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra tersebut kadang tidak disengaja dituliskan oleh pengarang, atau karena hakikat karya sastra itu sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara tidak langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu. Pengarang merupakan anggota yang hidup dan berhubungan dengan orang-orang yang berada disekitarnya, maka dalam proses penciptaan karya sastra seorang pengarang tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, karya yang lahir di tengah-tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan jiwa pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dihayatinya.
Karya sastra, seperti diakui banyak orang, merupakan suatu bentuk komunikasi yang disampaikan dengan cara yang khas dan menolak segala sesuatu yang serba “rutinitas” dengan memberikan kebebasan kepada pengarang untuk menuangkan kreativitas imajinasinya. Hal ini menyebabkan karya sastra menjadi lain, tidak lazim, namun juga kompleks sehingga memiliki berbagai kemungkinan penafsiran dan sekaligus menyebabkan pembaca menjadi “terbata-bata” untuk berkomunikasi dengannya. Berawal dari inilah kemudian muncul berbagai teori untuk mengkaji karya sastra, termasuk karya sastra novel.
Novel merupakan sebuah “struktur organisme” yang kompleks, unik, dan mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung. Hal inilah, antara lain, yang menyebabkan sulitnya pembaca menafsirkan sebuah novel, dan untuk keperluan tersebut dibutuhkan suatu upaya untuk menjelaskannya disertai bukti-bukti hasil kerja kajian yang dihasilkan.  Novel merupakan salah satu jenis karya sastra prosa yang mengungkapkan sesuatu secara luas. Berbagai kejadian di dalam kehidupan yang dialami oleh tokoh cerita merupakan gejala kejiwaan. Manfaat yang akan terasa dari hasil kajian itu adalah apabila pembaca (segera) membaca ulang karya sastra yang dikajinya. sehingga pembaca akan lebih menikmati dan memahami cerita, tema, pesan-pesan, tokoh, gaya bahasa, dan hal-hal lain yang diungkapkan dalam karya yang dikaji.
Estetika sastra yang diekspresikan sastrawan dari kearifan lokal, bagaimanapun mempunyai akar budaya penciptaan, yang memberi warna lain bagi teks sastra itu. Kita menemukan para sastrawan yang kembali pada akar tradisi masyarakatnya. Novel-novel Ahmad Tohari, Umar Kayam, Kuntowijoyo, Y.B. Mangunwijaya, dan Pramoedya Ananta Toer, kearifan lokal telah memberi warna pada struktur narasi, latar, penokohan, dan konflik cerita. Di samping itu, berkembang style para novelis yang menandai ekplorasi nilai estetisnya sendiri.
Salah satu contohnya, yaitu dalam novel-novel Ahmad Tohari yang sering mengangkat tema tentang kehidupan masyarakat lapisan bawah yang disajikan dengan gaya bahasa yang mampu menghidupkan suasana cerita dan mudah dipahami pembaca. Ahmad Tohari bisa melahirkan karya yang mengangkat kesukaran hidup kaum bawah karena pengalaman hidup yang sangat berkesan, terutama yang mengangkat tentang kemelaratan para tetangga, kebodohan, serta ketidak berdayaan mereka keberpihakan Ahmad Tohari terhadap wong cilik seakan menjadi obsesinya yang tidak pernah berkesudahan.
Berangkat dari uraian tersebut, dalam makalah ini kami akan menganalisis novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karangan Ahmad Tohari dengan pendekatan feminism, untuk mengetahui nilai estetiknya. Saya mengambil objek tersebut karena kemenariak ceritanya yang menempatkan wanita sebagai tokoh utama meskipun masih dipengaruhi tokoh pria. Tokoh wanita dalam novel Ahmad Tohari adalah sosok wanita yang penuh dengan permasalahan yang harus dihadapi. Masalah cinta, rumah tangga, asal usul, dan kebahagiaan yang masih dihadapi dan harus dipecahkan oleh sang tokoh. Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk terdiri dari tiga episode, yaitu episode pertama berjudul Ronggeng Dukuh Paruk, episode kedua diberi judul Lintang Kemukus Dini Hari, dan yang ketiga adalah Jantera Bianglala.





BAB II
LANDASAN TEORI


2.1 Estetika Sastra

            Istilah “estetika”(aesthetics) berasal dari bahasa Yunani, aisthesis yang berarti ‘pencerapan indera’ (sense perception) atau aisthetika yang artinya ‘sesuatu yang dapat diserap dengan pancaindra’. Estetika sendiri disebut juga sebagai “filsafat keindahan”(philosophy of beauty). Wilayah kajian estetika terbagi menjadi dua: “estetika filosofis” di mana filsafat keindahan dan filsafat seni menjadi cabangnya, dan “estetika ilmiah” termasuk di dalam wilayah kajiannya di antaranya: ilmu seni, sejarah seni dan teori sejarah seni,ilmu bentuk seni,ilmu kemasyarakatan seni,logika (ilmu tanda tentang seni), estetika eksperimental, estetika matematis, psikologi estetis, dan psikologi seni.
            John Hospers (1982) menyejajarkan filsafat seni dengan cabang-cabang filsafat lainnya, seperti filsafat bahasa, filsafat kebudayaan,filsafat pendidikan. Secara khusus,filsafat ini sebenarnya berbicara tentang seni: ada seni lukis,seni pahat,seni musik,seni tari,seni sastra, seni drama,seni film,seni arsitektur. Meskipunberbedaobjekmaterialnya, filsafat seni sering kali disamakan begitu saja dengan filsafat keindahan (estetika).
            Karya sastra merupakan representasi dari dunia kehidupan manusia dan alam semesta. Seorang pembaca sastra akan mampu memahami apa yang terkandung di dalam karya sastra apabila dia sudah mampu membacanya dengan kritis. Proses pembacaan karya yang dibedakan menjadi reading for pleasure, yakni membaca sastra hanya untuk kesenangan dan critical reading, membaca karya sastra untuk melihat ideology yang terdapat di balik teks sastra tersebut. Teks sastra setidaknya dipahami dalam kaitannya dengan penulis (meproduksi teks), lingkungan (fisik, sosial budaya), teks lain (intertektualitas). Pemaknaan teks juga dipahami dalam konteks dialog antara pembaca dan teks yang dibacanya. Karya sastra terutama novel dapat menjadi sarana yang sangat efektif bagi penyampaian, pengenalan, pengahayatan dan pemahaman unsur-unsur estetik dalam suatu budaya di masyarakat. Unsur yang ingin disampaikan secara alamiah tanpa ada kesan menggurui. Untuk memahami sebuah roman dapat dilakukan melalui pendekatan estetika.

2.2 Feminisme
Teori sastra feminisme sendiri adalah teori yang menghubungkan gerakan perempuan dengan karya sastra. Teori sastra feminis banyak memberikan sumbangan perkembangan studi kultural (cultural studies). Sastra feminis berakar pada pemahaman mengenai inferioritas perempuan. Feminisme ini menfokuskan diri pada pentingnya kesadaran mengenai persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam semua bidang. Feminisme berusaha mendekonstruksi sistem yang dicurigai telah menimbulkan kelompok yang mendominasi dan didominasi, sistem hegemoni dan lahirnya kelompok subordinat.
Feminisme pada dasarnya merupakan sebuah topik pembicaraan wanita dengan mengikutsertakan pria sebagai “makhluk” yang selalu dicemburui, sebagai makhluk yang superior (kuat), yang senantiasa menganggap wanita sebagai mahkluk inferior (lemah). Pandangan inilah yang tidak pernah mendudukkan wanita sebagai subjek dalam bidang apapun. Apalagi pembagian kerja yang secara seksual juga tidak menguntungkan. Bidang-bidang kerja domestik akhirnya memarginalkan mereka sebagai makhluk yang lemah, yang hanya dapat bekerja sesuai dengan kodratnya. Pandangan sikap yang masih diskriminatif tersebut masih tampak diberbagai negara di dunia.
Feminisme berasal dari kata feminist (pejuang hak-hak kaum wanita), yang kemudian meluas menjadi feminism (suatu faham yang memperjuangkan hak-hak kaum wanita). Dalam arti leksikal feminisme berarti gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan kaum pria (Moeliono 1988: 241). Menurut Goefe, feminisme ialah teori persamaan hak antara laki-laki dan wanita dibidang politik, ekonomi, dan sosial, atau gerakan yang terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan kaum wanita (dalam Sugihastuti 2000: 37).
Dalam dunia masyarakat pria, proses mengamati lawan jenis selalu dihubungkan dengan estetika fisik demi melayani nafsu dan rasa ingin tahu. Ini merupakan salah satu perilaku andrticentric “berpusat pada pria” (andro dalam bahasa Yunani berarti pria) atau Phallocentric (pallus merupakan penanda jenis kelamin pria). Dalam masyarakat pria phallocentric, memiliki phallus berarti memiliki kekuasaan dengan kata lain, sistem itu memungkinkan pria menguasai wanita dalam semua bentuk hubungan sosial. Dalam paradigma feminis, situasi seperti itu diekspresikan dengan istilah patriarki. Patriarki merupakan penyebab utama munculnya fenomena-fenomena penindasan hak wanita oleh kaum pria. Konsep ini memandang wanita sebagai kelas kedua setelah laki-laki sehingga muncul dominasi pria atas wanita. Akibat kekuasaan patriarki termanifestasikan dengan apa yang disebut seksisme (dasar ideologi penindasan yang merupakan sistem hirarki seksual dimana laki-laki memiliki superior dan economic privilege (Fakih 1996: 86).
Singkat kata, feminisme menolak ketidakadilan masyarakat patriarki, menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-laki. Dalam karya sastra, permasalahan mengenai gender merupakan bentukan dari kebudayaan khusus, yakni bentukan budaya patriarki yang mendudukkan posisi perempuan sebagai inferior sedangkan laki-laki sebagai superior.
Istilah male feminis bagi kalangan feminis di Indonesia masih sangat baru dan belum terdengar akrab di telinga. Persoalannya jelas, feminis di Indonesia dapat dikatakan baru berjalan kurang lebih 15 tahun ini, tepatnya dimulai pada pertengahan tahun 1980-an. Itupun baru berupa pergerakan feminisme dan belum sampai pada taraf studi yang intensif yang berupa pengembangan wacana yang kritis dan analisis sifatnya, apalagi masalah feminis laki-laki (Arivia dalam Subono 2001: 1).
Sebagian kaum feminis berpendapat bahwa laki-laki dapat menyatakan diri mereka feminis sepanjang mereka ikut berjuang bagi kepentingan kaum perempuan. Sekelompok feminis lain beranggapan bahwa laki-laki tidak dapat menjadi feminis karena tidak mengalami diskriminasi dan penindasan sebagaimana dialami kaum perempuan. Oleh karena itu, kaum laki-laki yang ikut berjuang melawan penindasan terhadap perempuan lebih tepat dikatakan sebagai kelompok pro-feminis (male feminis) (Muchtar 1999: 5).
Pandangan male feminis muncul karena adanya gerakan kaum feminisme yang menolak keterlibatan laki-laki dalam penyetaraan masalah gender. Menurut Soenarjati (2000: 4), inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki.
Sejalan dengan nafas filsafat yang telah dihembuskan oleh Haryatmoko, tulisan Donny Gahral Adian mencoba membahas persoalan feminis laki-laki dengan lebih teoritis lagi. Ia lebih jauh mengkolaborasi metafisika kontenporer yang mengkritik metafisika klasik yang melahirkan pemahaman dikotomi dan akhirnya menjagokan rasio ketimbang emosi, laki-laki ketimbang perempuan. Tampak pula pengakuannya bahwa semakin banyak laki-laki intelektual-borjuis yang mempelajari feminisme sebagai sebuah teori yang tidak kalah “menterengnya” dengan teori-teori besar lainnya (Arivia dalam Subono 2001: 3). Pada dasarnya keberadaan tokoh male feminis dan kontra male feminis adalah sebuah keniscayaan, apalagi untuk novel-novel yang mengangkat persoalan perempuan dan berangkat dari dunia feminis.

2.3 Hakikat Novel
             Novel merupakan bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Bahkan dalam perkembangannya novel dianggap bersinonim dengan fiksi. Dengan demikian, pengertian fiksi juga berlaku untuk novel. Dalam bahasa Itali novella (yang dalam bahasa Jerman: novelle). Secara harfiah novella sebuah barang baru yang kecil. Sedangkan dalam bahasa Inggris: novel, sebutan itulah yang kemudian masuk ke Indonesia. Dewasa ini istilah novella dan novella mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelet (Inggris: novelette), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukup, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Karya sastra yang disebut novelet adalah karya yang lebih pendek daripada novel, tetapi lebih panjang daripada cerpen, ktakanlah pertengahan di antara keduanya.
Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling popular di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak beredar, lantaran daya komunikasinya yang luas pada masyarakat. Sebagai bahan bacaan, novel dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu karya serius dan karya hiburan. Pendapat demikian memang benar tapi juga ada kelanjutannya. Yakni bahwa tidak semua yang mampu memberikan hiburan bisa disebut sebagai karya sastra serius. Sebuah novel serius bukan saja dituntut agar dia merupakan karya yang indah, menarik dan dengan demikian juga memberikan hiburan pada kita. Tetapi ia juga dituntut lebih dari itu. Novel adalah novel syarat utamanya adalah bawa ia mesti menarik, menghibur dan mendatangkan rasa puas setelah orang habis membacanya.
Novel yang baik dibaca untuk penyempurnaan diri. Novel yang baik adalah novel yang isinya dapat memanusiakan para pembacanya. Sebaliknya novel hiburan hanya dibaca untuk kepentingan santai belaka. Yang penting memberikan keasyikan pada pembacanya untuk menyelesaikannya. Tradisi novel hiburan terikat dengan pola-pola. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa novel serius punya fungsi sosial, sedang novel hiburan Cuma berfungsi personal. Novel berfungsi social lantaran novel yang baik ikut membina orang tua masyarakat menjadi manusia. Sedang novel hiburan tidak memperdulikan apakah cerita yang dihidangkan tidak membina manusia atau tidak, yang penting adalah bahwa novel memikat dan orang mau cepat–cepat membacanya.
Banyak sastrawan yang memberikan yang memberikan batasan atau definisi novel. Batasan atau definisi yang mereka berikan berbeda-beda karena sudut pandang yang mereka pergunakan juga berbeda-beda. Definisi – definisi itu antara lain adalah sebagai berikut :
  1. Novel adalah bentuk sastra yang paling popular di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak dicetak dan paling banyak beredar, lantaran daya komunitasnya yang luas pada masyarakat (Jakob Sumardjo Drs).
  2. Novel adalah bentuk karya sastra yang di dalamnya terdapat nilai-nilai budaya sosial, moral, dan pendidikan (Dr. Nurhadi, Dr. Dawud, Dra. Yuni Pratiwi, M.Pd, Dra. Abdul Roni, M. Pd).
  3. Novel merupakan karya sastra yang mempunyai dua unsur, yaitu : undur intrinsik dan unsur ekstrinsik yang kedua saling berhubungan karena sangat berpengaruh dalam kehadiran sebuah karya sastra (Drs. Rostamaji,M.Pd, Agus priantoro, S.Pd).
  4. Novel adalah karya sastra yang berbentuk prosa yang mempunyai unsur-unsur intrinsik (Paulus Tukam, S.Pd).

            Novel dibangun dari dua unsur pembangun, yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang ada di dalam tubuh karya sastra, yaitu yang terdiri dari tema, setting, sudut pandang, alur/plot, penokohan, dan gaya bahasa. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang ada di dalam tubuh karya sastra, yaitu latar belakang penciptaan, sejarah, biografi pengarang, dan lain-lain di luar unsur intrinsik. Novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detil, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks. Hal itu mencakup berbagai unsur cerita yang membangun novel itu.



BAB III
PEMBAHASAN


3.1 Biografi Pengarang
            Ahmad Tohari, (lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, 13 Juni 1948; umur 61 tahun) adalah sastrawan Indonesia. Ia menamatkan SMA di Purwokerto. Namun demikian, ia pernah mengenyam bangku kuliah, yakni Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas Sudirman, Purwokerto(1974-1975), dan Fakultas Sosial Politik Universitas Sudirman (1975-1976). Ia pernah bekerja di majalah terbitan BNI 46, Keluarga, dan Amanah. Ia mengikuti International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat (1990) dan menerima Hadiah Sastra ASEAN (1995).
            Dia menulis sejak sma dan setelah lulus menjadi wartawan si sebuah majalah. Pendidikan formalnya hanya mencapai SMTA di SMAN II Purwokerto. Namanya mulai muncul pada pertengahan 1970-an.  Dia mulai dikenal ketika sebuah cerpennya mendapat penghargaan kincir emas dari Radio Hiversum. Kemudian karya novelnya juga mendapat posisi juara pada Sayembara Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Kemudian karyanya direkomendasikan untuk diterbitkan. Ahmad tohari adalah salah seorang contoh pengarang yang besar melalui sayembara DKJ.
            Karya-karyanya, yaitu: Kubah (novel) (novel, 1980); Ronggeng Dukuh Paruk (novel, 1982); Lintang Kemukus Dini Hari (novel, 1985); Jantera Bianglala (novel, 1986); Di Kaki Bukit Cibalak (novel, 1986); Senyum Karyamin (kumpulan cerpen, 1989); Bekisar Merah (novel, 1993); Lingkar Tanah Lingkar Air (novel, 1995); Nyanyian Malam (kumpulan cerpen, 2000); Belantik (novel, 2001); Orang Orang Proyek (novel, 2002); Rusmi Ingin Pulang (kumpulan cerpen, 2004); Ronggeng Dukuh Paruk Banyumasan (novel bahasa Jawa, 2006; meraih Hadiah Sastera Rancagé 2007). Karya-karya Ahmad Tohari telah diterbitkan dalam bahasa Jepang, Tionghoa, Belanda dan Jerman. Edisi bahasa Inggrisnya sedang disiapkan penerbitannya.
3.2 Sinopsis Novel Ronggeng Dukuh Paruk
            Srintil adalah gadis Dukuh Paruk. Dukuh Paruk adalah sebuah desa kecil yang terpencil dan miskin. Namun, segenap warganya memiliki suatu kebanggaan tersendiri karena mewarisi kesenian ronggeng yang senantiasa menggairahkan hidupnya. Tradisi itu nyaris musnah setelah terjadi musibah keracunan tempe bongkrek yang mematikan belasan warga Dukuh Paruk sehingga lenyaplah gairah dan semangat kehidupan masyarakat setempat. Untunglah mereka menemukan kembali semangat kehidupan setelah gadis cilik pada umur belasan tahun secara alamiah memperlihatkan bakatnya sebagai calon ronggeng ketika bermain-main di tegalan bersama kawan-kawan sebayanya (Rasus, Warta, Darsun). Permainan menari itu terlihat oleh kakek Srintil, Sakarya, yang kemudian mereka sadar bahwa cucunya sungguh berbakat menjadi seorang ronggeng. Berbekal keyakinan itulah, Sakarya menyerahkan Srintil kepada dukun ronggeng Kartareja. Dengan harapan kelak Srintil menjadi seorang ronggeng yang diakui oleh masyarakat.
Dalam waktu singkat, Srintil pun membuktikan kebolehannya menari disaksikan orang-orang Dukuh Paruk sendiri dan selanjutnya dia pun berstatus gadis pilihan yang menjadi milik masyarakat. Sebagai seorang ronggeng, Srintil harus menjalani serangkaian upacara tradisional yang puncaknya adalah menjalani upacara bukak klambu, yaitu menyerahkan keperawanannya kepada siapa pun lelaki yang mampu memberikan imbalan paling mahal. Meskipun Srintil sendiri merasa ngeri, tak ada kekuatan dan keberanian untuk menolaknya. Srintil telah terlibat atau larut dalam kekuasaan sebuah tradisi, di sisi lain, Rasus merasa mencintai gadis itu tidak bisa berbuat banyak setelah Srintil resmi menjadi ronggeng yang dianggap milik orang banyak. Oleh karena itu, Rasus memilih pergi meninggalkan Srintil sendirian di Dukuh Paruk.
            Kepergian Rasus ternyata membekaskan luka yang mendalam di hati Srintil dan kelak besar sekali pengaruhnya terhadap perjalanan hidupnya yang berliku. Rasus yang terluka hatinya memilih meninggalkan Dukuh Paruk menuju pasar Dawuan, dan kelak dari tempat itulah Rasus mengalami perubahan garis perjalanan hidupnya dari seorang remaja dusun yang miskin dan buta huruf menjadi seorang prajurit atau tentara yang gagah setelah terlebih dahulu menjadi tobang. Dengan ketentaraannya itulah kemudian Rasus memperoleh penghormatan dan penghargaan seluruh orang Dukuh Paruk, lebih-lebih setelah berhasil menembak dua orang perampok yang berniat menjarah rumah Kartareja yang menyimpan harta kekayaan ronggeng Srintil.Beberapa hari singgah di Dukuh Paruk Rasus sempat menikmati kemanjaan dan keperempuanan Srintil sepenuhnya. Tapi itu semua tidak menggoyahkan tekadnya yang bulat untuk menjauhi Srintil dan dukuhnya yang miskin. Pada saat fajar merekah, Rasus melangkah gagah tanpa berpamitan pada Srintil yang masih pulas tidurnya.
            Kepergian Rasus tanpa pamit sangat mengejutkan dan menyadarkan Srintil bahwa ternyata tidak semua lelaki dapat ditundukkan oleh seorang ronggeng. Setelah kejadian itu Srintil setiap hari tampak murung dan sikap Srintil yang kemudian menimbulkan keheranan orang-orang disekitarnya. Kebanyakan mereka tidak senang menyaksikan kemurungan Srintil, sebab mereka tetap percaya ronggeng Srintil telah menjadi simbol kehidupan Dukuh Paruk. Dalam kurun waktu tertentu, Srintil tetap bertahan tidak ingin menari sebagai ronggeng, bahkan senang mengasuh bayi Goder (anaknya Tampi, seorang tetangga) dengan gaya asuhan seorang ibu kandung.
            Perlawanan atau pemogokan Srintil masih bertahan ketika datang tawaran menari dari Kantor Kecamatan Dawuan yang akan menggelar pentas kesenian menyambut perayaan Agustusan. Kalau pun pada akhirnya runtuh dan pasrah, bukan semata-mata tergugah untuk kembali tampil menari sebagai seorang ronggeng, melainkan mendengar ancaman Pak Ranu dari Kantor Kecamatan. Srintil menyadari kedudukannya sebagai orang kecil yang tak berhak melawan kekuasaan. Sama selaki ia tidak membayangkan akibat lebih jauh dari penampilannya di panggung perayaan Agustusan yang pada tahun 1964 sengaja dibuat berlebihan oleh orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Warna merah dipasang di mana-mana dan muncullah pidato-pidato yang menyebut-nyebut rakyat tertindas, kapitalis, imperalis, dan sejenisnya.
            Pemberontakan PKI kandas dalam sekejap dan akibatnya orang-orang PKI atau mereka yang dikira PKI dan siapa pun yang berdekatan dengan PKI di daerah mana pun ditangkapi dan di tahan. Nasib itu terjadi juga pada Srintil yang harus mendekam di tahanan tanpa alasan yang jelas. Pada mulanya, terjadi paceklik di mana-mana sehingga menimbulkan kesulitan ekonomi secara menyeluruh. Pada waktu itu, orang-orang Dukuh Paruk tidak berpikir panjang dan tidak memahami berbagai gejala zaman yang berkembang di luar wilayahnya. Dalam masa paceklik yang berkepanjangan, Srintil terpaksa lebih banyak berdiam di rumah, karena amat jarang orang mengundangnya berpentas untuk suatu hajatan. Akan tetapi, tidak lama kemudian ronggeng Srintil sering berpentas di rapat-rapat umum yang selalu dihadiri atau dipimpin tokoh Bakar. Walaupun Srintil tidak memahami makna rapat-rapat umum, pidato yang sering diselenggarakan orang. Yang dia pahami hanyalah menari sebagai ronggeng atau melayani nafsu kelelakian. Tapi hubungan mereka tetap baik.
            Hubungan mereka merenggang setelah beberapa kali terjadi penjarahan padi yang dilakukan oleh orang-orang kelompok Bakar. Sukarya merasa tersinggung dengan Bakar, karena Bakar mengungkit-ungkit masa lampau Ki Secamenggala yang dikenal orang sebagai bromocorah. Karena hal itu Sakarya memutuskan hubungan dengan kelompok Bakar. Sakarya tidak hanya melarang ronggeng Srintil berpentas di rapat-rapat umum, tetapi juga meminta pencabutan lambang partai. Akan tetapi, Bakar menanggapinya dengan sikap bersahaja. Dalam tempo singkat, Dukuh Paruk kembali ketradisinya yang sepi dan miskin. Akan tetapi, kedamaian itu hanya sebentar, karena mereka kemudian kembali bergabung dengan kelompok Bakar setelah terkecoh oleh kerusakan cungkup makam Ki Secamenggala. Sakarya menduga kerusakan itu ulah kelompok Bakar yang sakit hati, tetapi kemudian beralih ke kelompok lain setelah menemukan sebuah caping bercat hijau di dekat pekuburan itu. Sayang, mereka tidak mampu membaca simbol itu. Dan Srintil pun semangat menari walaupun tariannya tidak seindah penampilannya yang sudah-sudah.
            Ternyata penampilan yang berlebihan itu merupakan akhir perjalanan Srintil sebagai ronggeng. Mendadak pasar malam bubar tanpa penjelasan apa pun dan banyak orang limbung, ketakutan, dan kebingungan, sehingga kehidupan terasa sepi dan mencekam. Berbagai peristiwa menjadikan orang-orang Dukuh Paruk ketakutan, tetapi tidak mengetahui cara-cara penyelesaiannya. Yang terpikir adalah melaksanakan upacara selamatan dan menjaga kampung dengan ronda setiap saat. Keesokan harinya orang-orang Dukuh Paruk melepas langkah Kartareja dan Srintil yang berniat meminta perlindungan polisi di Dawuan. Tapi ternyata harapan berlindung kepada polisi itu berantakan, karena kepolisian dan tentara justru sudah menyimpan catatan nama Srintil yang terlanjur populer sebagai ronggeng rakyat yang mengibarkan bendera PKI.
            Srintil pulang ke Dukuh Paruk setelah dua tahun mendekam dalam tahanan politik dengan kondisi kejiwaan yang sangat tertekan. Ia berjanji menutup segala kisah dukanya selama dalam tahanan dan bertekad melepas predikat ronggengnya untuk membangun sebuah kehidupan pribadinya yang utuh sebagai seorang perempuan Dukuh Paruk, meskipun tidak mengetahui sedikitpun keberadaan Rasus. Tanpa sepengetahuan Srintil, Nyai Kartareja menghubungi Marsusi. Akibatnya, Srintil mengumpat kebodohan neneknya dan meratapi nasibnya sebagai perempuan yang terlanjur dikenal sebagai ronggeng. Untungah Srintil masih bisa mengelak perangkap Marsusi. Selepas dari perangkap Marsusi, Srintil kembali mendapat tekanan dari lurah Pecikalan agar mematuhi kehendak Pak Bajus. Bajus hendak menikahi Srintil, sehingga Srintil berusaha mencintai Bajus. Tapi Srintil sangat kecewa, karena Bajus ternyata lelaki impoten yang justru hanya berniat menawarkannya kepada seorang pejabat proyek. Srintil pun mengalami goncangan jiwa dan akhirnya menderita sakit gila sampai akhirnya dibawa ke rumah sakit jiwa oleh Rasus.

3.3 Analisis Novel dengan Pendekatan Feminisme
            Novel berjudul Ronggeng Dukuh Paruk ini bercerita tentang seorang tokoh bernama Srintil yang menjadikan profesi ronggeng sebagai jalan pilihan hidupnya di kala usianya yang tergolong masih sangat muda. Profesi ini ia pilih karena sang tokoh memiliki bakat menari sedari kecil. Seperti tergambar pada kutipan di bawah ini:
Siapa yang akan percaya, tak seorang pun pernah mengajari Srintil menari dan bertembang. Siapa yang akan percaya, belum sekali pun Srintil pernah melihat pentas ronggeng. Ronggeng terakhir di Dukuh Paruk mati ketika Srintil masih bayi. Tetapi di depan Rasus, Warta, dan Darsun, Srintil menari dengan baik ...(hlm:13).
           
            Meskipun Ahmad Tohari bukanlah seorang pengarang perempuan, akan tetapi pada novel ini beliau begitu menunjukkan kepiawaiannya dalam membuat karya sastra yang berbau feminisme sehingga penciptaan karakter perempuan pada tokoh ini pun menjadi terasa lebih hidup dan mirip dengan realitas yang ada. Hal ini terbukti karena munculnya konflik batin yang dialami oleh tokoh Srintil sebagai seorang ronggeng yang harus menyerahkan keperawanannya di saat usia sebelas tahun pun terenggut karena adanya hukum yang berlaku untuk seorang ronggeng di dukuh paruk, tergambar dalam kutipan berikut:
Srintil mengisak seorang diri. Baginya alangkah lambat waktu berjalan. Dia ingin hari segera menjelang pagi. Dia ingin segera menemukn dirinya telah selesai menjalani bukak-klambu. Tak terpikir lagi soal ringgit emas atau lainnya. Yang dirasakannya sekarang adlah perutnya yang bagai teriris-iris. Ronggeng itu tak menghentikan tangis karena binatang jantan lainya akan segera datang menyingkap kelambu dan mendengus ... (hlm: 77-78).

Karya sastra ciptaan Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk-nya ini telah menulis bagaimana tokoh Srintil memutuskan untuk lebih baik menyerahkan keperawanannya kepada Rasus, laki-laki pilihannya, daripada menggadaikannya kepada laki-laki yang telah memberikan pembayaran atas tubuhnya, tergambar pada kutipan berikut:
 ”Srintil?” tegurku dengan suara berbisik. ”Jangan terkejut. Aku Rasus.”
”Oh!” seru Srintil tertahan. Dia cepat bangkit, merangkulku sekuat tenaga. ”Rasus. Dengar, mereka bertengkar di luar. Aku takut, sangat takut. Aku ingin kencing!”
”Sudah kencing?”
”Sudah. Tetapi aku takut. Rasus, kau sungguh baik. Kau ada di sini ketika aku sedang diperjual-belikan.”
”Ya.”
Masih merangkul kuat-kuat, Srintil mengisak. Kubiarkan dia karena aku pun tak tahu apa yang harus kuperbuat. Kurasakan tubuh Srintil hngat dan gemetar.
”Aku benci, benci. Lebih baik kuberikan padamu. Rasus, sekarang kau tak boleh menolak seperti kaulakukan tadi siang. Di sini bukan pekuburan. Kita takkan kena kutuk. Kau mau, bukan?” (hlm: 76). 
Ronggeng Dukuh Paruk telah mengantarkan kepada masyarakat pembaca tentang gambaran kesalahan pada cara masyarakat memandang seksualitas perempuan.

Resistensi perempuan dalam karya sastra yang bercerita tentang pergulatan perempuan seperti halnya Ronggeng Dukuh Paruh ini, Srintil akan dilihat sebagai bentuk ketertindasan dan kekalahan perempuan dihadapan laki-laki. Srintil dalam paparan tersebut, seakan merepresentasikan seorang perempuan yang tertindas, objek kekerasan seksual, tidak berdaya sekaligus dianggap sebagai sosok yang dipinggirkan, dimarjinalisasi, dilecehkan yang terkesan mengenaskan. Sebuah kontruk identitas monolitik tunggal, sebagai korban budaya patriaki, tidak berpendidikan, terikat tradisi, domestik, dan selalu menjadi korban.
Srintil tidak melihat laki-laki sebagai pihak tersendiri yang superior dan menguasainya. Bagi Srintil, lelaki dan kelelakian adalah imbalan perempuan dan keperempuanan, artinya lelaki dan perempuan tidak dipandang secara dikotomis. Sebaliknya lelaki juga memiliki kelemahan, terutama kebutuhan atas pengakuan akan kelelakiannya. Realita ini membuat Srintil merasa sama-sama berada dalam ruang yang seimbang, seakan sama-sama bersandar pada relasi kuasa, sebuah arena kontestasi yang dapat saja terjadi multipenafsiran dalam mempresentasikan perempuan. Ternyata Srintil adalah representasi perempuan yang mampu berbicara dalam posisi lokalitasnya. Siasat lokalitas, apa pun bentuknya, seyogyanya dihargai sebagai potensi untuk membangun kehidupan keadilan dan kesetaraan.
Unsur-unsur feminisme yang terdapat pada novel ini begitu terasa salah satunya disebabkan karena novel ini mengangkat isu ketimpangan gender. Novel ini mengisahkan relasi antara perempuan dan laki-laki di daerah pedalaman, tepatnya di dukuh paruk. Energi ideologi gender yang diangkat dalam novel ini berlatar kehidupan seorang penari ronggeng di masa isu pemberontakan komunis di Indonesia. Hal tersebut menandakan bahwa pascakolonialisme juga mewarnai cerita dalam novel miliki karya Ahmad Tohari ini. Hal tersebut diceritakan pada bab 5 bagian buku ke dua Lintang Kemusuk Dini Hari, tergambar pada beberapa kutipan di bawah ini:
Pada tahun 1964 itu Dukuh Paruk tetap cabul, sakit, dan bodoh ... Pedukuhan yang kecil itu mustahil menghindar dari keruntuhan sistem ekonomi yang sudah lama menggejala secara umum di seluruh negeri ... Orang Dukuh Paruk ikut berharap dapat panen, buruh menuai padi. Tetapi berbagai hama datang lebih dulu. Tikus atau walang sangi. Bahkan celeng, yang entah datang dari mana, ikut merusak harapan orang-orang Dukuh Paruk (hlm: 227).

Tetapi pada tahun 1964 itu, ketika paceklik merajalela di mana-mana, ronggeng Dukuh Paruk malah sering naik pentas ... (hlm: 228).

Suasana menjadi hening tetap tegang. Semua mata memandang caping hijau itu ... dan para perusak yang memakai caping hijau. Pada tahun 1965 itu siapa pun tahu kelompok petani mana yang suka berpawai atau berkumpul dalam rapat dengan tutup kepala seperti itu (hlm: 235-236)

Awal kemarau tahun 1966. Malam yang sangat dingin menyertakan kecemasan yang meluas. Anjing-anjing liar yang beringas karena terangsang bau darah. Atau mayat-mayat yang tidak diurus secara layak. Angin tenggara membawa bau bunga bangkai ... suara malam ialah bunyi langkah sepatu yang berat. Dan letupan bedil sekali-kali (hlm: 238-239).

            Terlihat dalam novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari memunculkan tokoh laki-laki yang male feminis. salah satu tokoh yang menandakan bahwa dia adalah tokoh male feminis, yaitu Rasus. Rasus adalah teman bermain Srintil sebelum menjadi ronggeng. Persahabatan mereka mulai renggang setelah Srintil menjadi ronggeng. Rasus berani berbohong tentang keris dengan mengatakan mendapat wangsit Ayahnya. Perhatikan kutipan berikut:
“Nek, tadi malam aku bermimpi bertemu Ayah. Dalam mimpiku itu Ayah berpesan yang wanti-wantinya harus kulaksanakan, ”kataku dengan hati-hati.
“Apa pesan Ayahmu?” jawab Nenek yang mulai terpancing kebohonganku.
“Soal keris itu, Nek. Kata Ayah keris itu harus kuberikan kepada siapa saja yang menjadi ronggeng di pedukuhan ini. Demikian wangsit Ayah, Nek.” (hlm: 39).

Neneknya percaya dengan mimpi Rasus karena menyebut kata wangsit. Orang Dukuh Paruk menganggap wangsit sebagai bagian dari hukum yang pantang dilanggar. Akhirnya Rasus menyerahkan keris itu kepada Srintil ketika Srintil sedang terlelap. Tidak hanya itu, Rasus pun memperkuat bahwa dia adalah tokoh male feminis. Di saat upacara pemandiaan yang dilaksanakan di depan cungkup makam Ki Secamenggala sedang berlangsung, ada kejadian yang sangat menyesakkan dada Rasus, sehingga membuat Rasus bertindak untuk menolong Srintil ketika semua orang sibuk mengurus Kartareja. Seperti pada kutipan berikut ini:
Apapun tak ku inginkan kecuali segera membawa Srintil menyingkir. Kugandeng tangannya menuruni bukit kecil pekuburan. Srintil tidak kuantarkan pulang ke rumahnya, melainkan kubawa ke rumahku. Suatu keberanian yang tak pernah terbayangkn dapat kulakukan.


Sikap Rasus yang selalu membantu Srintil merupakan peran male feminis. ditambah lagi ketika Rasusu berusaha untuk menyembuhkan Srintil dengan mengajak Srintil untuk berobat. Rasus membawa Srintil ke rumah sakit jiwa. Karena Rasus mempunyai haparan Srintil bisa sembuh dan mereka bisa hidup bahagia. Seperti pada kutipan di bawah ini:
“Srintil akan ku rawat dengan uangku sendiri,” kataku datar dan pasti … (hlm:400).

            Tidak hanya Rasus tokoh laki-laki yang dimunculkan Ahmad Tohari sebagai tokoh mael feminis tapi ada tokoh-tokoh lain, seperti Goder, Pak Blegur, dan Partadasim.
            Goder  adalah anak Tampi tetangga Srintil. Semenjak Srintil sakit Goder adalah satu-satunya bayi yang dapat mengembalikan semangat hidupnya. Karena pada saat itu Srintil sempat putus asa akibat dirinya mengetahui tidak akan bisa mempunyai seorang anak, setelah Srintil mengetahui semua itu. Untung ada Goder anak Tampi yang memotivasiya untuk tetap semangat hidup. Seperti kutipan di bawah ini:
Makin lama Srintil makin lekat dengan Goder, bayi tampi. Seringkali Srintil menyuruh, jelasnya, mengusir Tampi pulang bila Goder sudah di tangannya. Hasrat meneteki Goder telah berubah menjadi renjana jiwanya, renjana hatinya, dan renjana sistem ragawinya … Ketika kali pertama Srintil sadar teteknya mengeluarkan air susu maka dia berurai air mata. Namun semangat hidupnya bangkit segera (hlm: 139).

Sakum adalah seorang pengiring ronggeng yang menabuhkan gendang di saat Srintil sedang berjoget. Mata Sakum buta, selama ini ia hanya mengandalkan indra pendengarannya, tapi terkadang naluri dan perasaannya lebih dipercaya. Walaupun mata Sakum buta, tapi dia bisa membuat anyaman kukusan dengan baik dan mengiringi Srintil dengan sempurna, sehingga ia bisa menghidupi keluarganya. Seperti kutipan berikut ini:
Sebelum sampai ke tujuan Srintil berhenti di depan rumah Sakum. Hatinya terkesan oleh suasana di situ. Penabuh calung yang buta itu sedang menganyam sebuah kukusan (hlm:163).

Ia dikatakan sebagai peran male feminis karena keikhlasannya dalam membantu Srintil untuk berbelanja di pasar ketika srintil sedang menemani Goder yang terlelap tidur.
            Partadasim adalah seorang lelaki dari Peciklan, ia diceritakan sebagai seorang lelaki yang membantu Srintil tanpa imbalan sepeserpun. Pada saat tu Srintil dipaksa untuk pulang bersama Marsusi, dan akhirnya ada Partadasim yang di mintai bantuan oleh Srintil untuk mengantarkannya pulang. Setelah Srintil menjelaskan kejadian yang sebenarnya, khirnya Partadasim mau mengantarkannya pulang. Karena sikap Partadasim tersebut maka Srintil terbebas dari paksaan Marsusi. Tergambar pada kutipan di bawah ini:
“Kang, sampean mau ke mana?”
“Lha, aku mau pulang.”
“Ke mana?”
“Lha, ya ke Pecikalan. Aku kan orang Pecikalan. Sampean orang Dukuh Paruk, kan?”
“Kebetulan, Kang. Aku minta dengan sangat sampean mau menolongku. Mau?”
“Ya mau saja. Lalu apa tidak salah, karena sampean kan.....kan….kan….” (hlm: 305).

Tokoh male feminis yang terakhir adalah Pak Blegur, ia adalah seorang pejabat proyek yang ditawari Bajus untuk menikahi Srintil. Tapi, hal itu diurungkan oleh Pak Blengur, di karenakan Ia sangat mengerti keadaan Srintil yang telah berhenti melayani nafsu laki-laki. Hal itu tergambar pada kutipan berikut ini:
“Jus, aku membuktikan sendiri katamu memang benar.”
“Kata yang mana, Pak?”
“…...Aku terkesan oleh citra pada wajahnya. Wajah perempuan jajanan yang sangat berhasrat menjadi ibu rumah tangga. Jus!”
“Ya, Pak.”
“Ya. Berilah dia kesempatan mencapai keinginannya menjadi seorang ibu rumah tangga. Masih banyak perempuan lain yang dengan sukarela menjadi objek petualangan. Jumlah mereka tak akan berkurang sekalipun Srintil mengundurkan diri dari dunia lamanya.”
“Ya,  pak, ya,” kata Bajus gugup … (hlm: 384-385)


Dari beberapa peran male feminis di atas, peran terbanyak dilakukan oleh tokoh Rasus, karena Ahmad Tohari menitikberatkan peran male feminis pada sosok Rasus.
Dalam roda kehidupan, tokoh laki-laki pun ada yang bersifat kontra male feminis. Sedangkan tokoh yang kontra male feminis salah satunya dapat dilihat dalam sikap Bajus. Bajus adalah orang luar pecikalan yang hendak menikahi Srintil, sehingga Srintil berusaha mencintai Bajus. Tapi Srintil sangat kecewa, karena Bajus ternyata lelaki impoten yang justru hanya berniat menawarkannya kepada seorang pejabat proyek. Seperti pada kutipan berikut ini:
“Anu Srin. Kamu sudah ku perkenalkan dengan Pak Blengur. Percayalah dia orangnya baik. Aku yakin bilakmu minta apa-apa kepadanya, berapapun harganya, akan dia kabulkan. Nanti dia akan bermalam di sini. Temanilah dia, temanilah dia, Srin.” (hlm: 382).
“Kamu orang Dukuh Paruk mesti inget. Kamu bekas PKI! Bila tidak mau menurut akan aku kembalikan kamu ke rumah tahanan. Kamu kira aku tidak bisa melakukannya?”
Pintu terbanting dan dikunci dari luar (hlm:383).


Seperti hal nya tokoh mael feminis, tokoh kontra male feminis pun masih ada lagi selain Bajus, yaitu Marsusi, Kartareja, Sakarya, dan lain sebagainya.
            Marsusi adalah seorang duda yang ingin mengawini Srintil. Ia selalu mengejar-ngejar Srintil dan memaksanya untuk bersamana. Tapi, Srintil pun terus menoka, sehingga Marsusi pun geram dan ingin membalas dendam terhadap Srintil. Tapi hal itu diketahu Kartareja. Seperti kutipan berikut ini:
“Tunggu sebentar, Mas,” panggilnya. Laki-laki itu menoleh. Mata Kartareja membulat untuk lebih memahami wajah laki-laki itu. Mula-mula Kartareja ragu.
“Oh, sampean? Ah, meskinya sampean menonton bersama Pak Camat. Tak pantas di sini, bukan?”
“Yah, terkadang orang ingin menyendiri,” jawab Marsusi tenang…
“Pentasmu kali ini sedikit terganggu,” ujar Marsusi.
“Yah, saya maklum. Saya mengerti perasaan sampean. Yang penting sekarang perkara utang-piutang sudah tunai” (hlm: 195).

            Kartareja  adalah dukun ronggeng di Dukuh Paruk, ia dan istrinya mengasuh Srintil yang menjadi ronggeng di pedukuhan itu. Sikap Kartareja yang mencerminkan bahwa ia adalah tokoh kontra male feminis, yaitu ketika upacara bukak-klambu. Ia menyuruh istrinya untuk melayani Sulam, dikarenakan seringgit emas. Tergambar pada kutipan berikut:
Oleh suaminya Nyai Kartareja disuruh melayani Sulam yang sedang hilang ingatan. Soal bertayub tak usah ditanyakan kepada istridukun ronggeng itu. Dia sangat pengalaman. Jadilah. Teringat masa mudanya, maka Nyai Kartareja melayani Sulam dengan sepenuh hati. Dia membiarkan dirinya dibawa berjoget, bahkan diciumi oleh Sulam (hlm:74-75).

            Sakarya adalah kakaek Srintil, ketika ia melihat cucuknya pintar menari. Maka ia memutuskan untuk menjadikan cucuknya seorang penari ronggeng. Ia pun menemui Kartareja untuk menjadikan cucuknya menjadi ronggeng yang sejati. Seperti tergambar dalam kutipan berikut:
Keesokan harinya Sakarya menemui Kartareja … Pagi itu Kartareja mendapat kabar gembira. Dia pun sudah bertahun-tahun menunggu kedatangan seorang calon ronggeng untuk diasuhnya. Belasan tahun sudah perangkat calungnya tersimpan di para-para di atas dapur. Dengan adanya laporan Sakarya tentang Srintil, Dukun ronggeng itu berharap bunyi calung akan kembali terdengar semarak di Dukuh Paruk.” (hlm: 16).

            Pada dasarnya keberadaan tokoh male feminis dan kontra male feminis adalah sebuah keniscayaan, apalagi untuk novel-novel yang mengangkat persoalan perempuan dan berangkat dari dunia feminis.
           
3.4 Nilai Estetik Novel
            Pada sisi lainnya estetika feminisme berkembang karena para pengarang laki-laki selalu menggambarkan perempuan dengan latar budaya patriarkat, yang selalu memojokkan kaum perempuan (tapi ada juga beberapa yang justru lebih peduli pada keperempuanan. Ekspresi estetika feminis cenderung mencerminkan adanya kesetaraan, pendobrakan terhadap perbedaan sosial-budaya antara laki-laki dan perempuan.
            Selain itu, dalam novel ini juga melukiskan latar, peristiwa dan tokoh-tokoh yang terdiri atas orang-orang desa yang sederhana dan menarik. Roggeng Dukuh Paruk merupakan gambaran tandas yang berhasil dibangkitkan Ahmad Tohari yang mengikis khayalan indah kota tentang kehidupan pedesaan di Jawa. Novel ini merupakan manifestasi latar sosial budaya Ahmad Tohari yang mengungkapkan budaya dan keunikan dari sebuah perdukuhan dengan cara khas sastra serta karakteristik penulisan karya sastra yang ditulis oleh pengarang.
            Novel Ronggeng Dukuh paruk ini benar-benar menceritakan kronologi-kronologi atau problema-problema pada sebuah kebudayaan asli yang terdapat di Indonesia yaitu Dukuh paruk. Kebudayaannya yang masih kental yaitu mengenai upacara menjadi seorang ronggeng dan kehidupan seorang ronggeng. Estetika feminis yang di munculkan oleh Ahmad Tohari pada novel ini, yaitu sisi lain dari kehidupan perempuan, sebuah fenomena yang jarang terjadi ketika sosok perempuan dengan tekad dan kegigihannya berusaha keluar dari jeratan nasib yang kurang memihaknya. Tokoh perempuan tersebut, yaitu digambarkan pada sosok Srintil yang menjadi seorang ronggeng dan terikat dengan aturan-aturan menjadi seorang ronggeng. Ahmad Tohari pun memunculkan sosok lelaki sebagai tokoh penolong (male feminis) dan tokoh penghambat (kontra male feminis) bagi tokoh utama.



BAB IV
PENUTUP


4.1 Kesimpulan
       Munculnya feminisme ini membawa pengaruh terhadap perubahan kaum perempuan atau wanita dalam menyikapi posisi, peran dan fungsinya. Isu-isu serta gagasan-gagasan penyetaraan gender, mempengaruhi kaum perempuan untuk lepas dari 3 posisi dan fungsinya sebagai perempuan, ibu, dan istri. Gagasan-gagasan ini dinilai baik dalam pembebasan hak-hak perempuan yang pada akhir mengalami pergeseran pemikiran atau bahkan melanggar kodratnya sebagai perempuan.
            Sebuah novel yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk adalah salah satu karya sastra ciptaan sang sastrawan senior ternama, yakni Ahmad Tohari. Beliau merupakan pengarang karya sastra yang produktif. Beliau juga termasuk pengarang yang selalu memperhatikan bahasa sebagai bentuk perkembangan karya sastra dan karya seni. Ronggeng Dukuh Paruk adalah salah satu novel karya Ahmad Tohari yang berhasil mencuatkan namanya di jagad karya sastra.
            Meskipun Ahmad tohari bukanlah seorang pengarang perempuan, akan tetapi pada novel ini beliau begitu menunjukkan kepiawaiannya dalam membuat karya sastra yang berbau feminisme sehingga penciptaan karakter perempuan pada tokoh ini pun menjadi terasa lebih hidup dan mirip dengan realitas yang ada. Hal ini terbukti karena munculnya konflik batin yang dialami oleh tokoh Srintil sebagai seorang ronggeng. Male feminis dan kontra male feminis dimunculkan Ahmad Tohari sebagai tokoh penolong dan tokoh penghambat bagi tokoh utama dalam novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk.




DAFTAR PUSTAKA


Djajanegara, Soenarjadi. 2000. Kritik Sastra Feminis Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Fakih, Mansour. 2003. Analisis Gender Dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Moeliono, Anton dkk. 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sofia, Adib dan Sugihastuti. 2003. Feminisme dan Sastra. Menguak Citra Perempuan dalam Layar Terkembang. Bandung: Katarsis.
Subono, Nur Iman. 2001. Laki-laki, Kekerasan Gender dan Feminisme. Dalam Nur Iman Subono (ed.) Feminis Laki-laki Solusi atau Persoalan? Jakarta: Jurnal Perempuan.
Supriyanto, Teguh. 1997. “Dekonstruksi Dalam Kajian Sastra Di Indonesia”. Dalam Lembaran Ilmu Pengetahuan No. 2 Tahun XXVI. Semarang: IKIP Semarang Press.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar