Sabtu, 08 Oktober 2011

Analisis Novel Ketidakadilan Jender Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang

PENDAHULUAN

Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang obyeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi, 1993: 8). Sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam segi kehidupannya, maka sastra tidak saja merupakan suatu media untuk menyampaikan ide, teori, atau sistem berpikir manusia. Sastra dapat dibahas berdasarkan dua hal, yaitu isi dan bentuk. Dari segi isi, sastra membahas tentang hal yang terkandung di dalamnya, sedangkan bentuk sastra membahas cara penyampaiannya. Ditinjau dari isinya, sastra merupakan karangan fiksi dan non fiksi. Apabila dikaji melalui bentuk atau cara pengungkapannya, sastra dapat dianalisis melalui genre sastra itu sendiri, yaitu puisi, novel, dan drama. Karya sastra juga digunakan pengarang untuk menyampaikan pikirannya tentang sesuatu yang ada dalam realitas yang dihadapinya. Realitas ini merupakan salah satu faktor penyebab pengarang menciptakan karya, di samping unsur imajinasi.
Menurut Semi (1993: 8), karya sastra merupakan karya kreatif sehingga sastra harus mampu melahirkan suatu kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia. Di samping itu, sastra juga harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan umat manusia. Hal ini dikarenakan obyek seni sastra adalah pengalaman hidup manusia terutama menyangkut sosial budaya, kesenian, dan sistem berpikir. Karya sastra merupakan gambaran kehidupan hasil rekaan seseorang yang sering kali karya sastra itu menghadirkan kehidupan yang diwarnai oleh sikap latar belakang dan keyakinan pengarang. Novel sebagai salah satu produk sastra memegang peranan penting dalam memberikan pandangan untuk menyikapi hidup secara artistik imajinatif. Hal ini dimungkinkan karena persoalan yang dibicarakan dalam novel adalah persoalan tentang manusia dan kemanusiaan.
Perkembangan novel di Indonesia cukup pesat. Hal itu terbukti dengan banyaknya novel-novel baru yang telah diterbitkan. Novel-novel tersebut mempunyai bermacam tema dan isi, antara lain tentang masalah-masalah sosial yang pada umumnya terjadi dalam masyarakat, termasuk yang berhubungan dengan wanita. Sosok wanita sangat menarik untuk dibicarakan. Wanita di wilayah publik cenderung dimanfaatkan oleh kaum laki-laki untuk memuaskan koloninya. Wanita telah menjelma menjadi bahan eksploitasi bisnis dan seks. Dengan kata lain, saat ini telah hilang sifat feminis yang dibanggakan dan disanjung bukan saja oleh kaum wanita, namun juga kaum laki-laki. Hal ini sangat menyakitkan apabila wanita hanya menjadi satu segmen bisnis atau pasar (Anshori, 1997: 2). Menurut Suroso dan Suwardi (1998: 2), sastra Indonesia memandang wanita menjadi dua bagian kategori. Kategori pertama adalah peran wanita dilihat dari segi biologisnya (isteri, ibu, dan objek seks) atau berdasarkan tradisi lingkungan. Kedua, bahwa peranan yang didapat dari kedudukannya sebagai individu dan bukan sebagai pendamping suami. Tokoh wanita seperti kategori kedua di atas, biasanya disebut sebagai perempuan feminis yaitu perempuan yang berusaha mandiri dalam berpikir, bertindak serta menyadari hak-haknya. Hal ini yang melatar belakangi kami untuk membandingkan novel ”Saman” karya Ayu Utami dengan novel ”Perempuan Kembang Jepun” karya Lan Fang.





Landasan Teori


1.      Teori Kritik Sastra Feminis

Kritik sastra feminis merupakan salah satu disiplin ilmu kritik sastra yang lahir sebagai respon atas berkembangnya feminisme di berbagai penjuru dunia. Kritik sastra feminisme merupakan aliran baru dalam sosiologi sastra. Lahirnya bersamaan dengan kesadaran perempuan akan haknya. Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat lakilaki. Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini mencakup berbagai cara. Salah satu caranya adalah memperoleh hak dan peluang yang sama dengan yang dimiliki laki-laki. Berkaitan dengan, maka muncullah istilah equal right's movement atau gerakan persamaan hak. Cara lain adalah membebaskan perempuan dari ikatan lingkungan domestik atau lingkungan keluarga dan rumah tangga. Cara ini sering dinamakan women's liberation movement, disingkat women's lib atau women's emancipation movement, yaitu gerakan pembebasan wanita (Saraswati, 2003: 156).
Kritik sastra feminisme berawal dari hasrat para feminis untuk mengkaji karya penulis-penulis wanita di masa silam dan untuk menunjukkan citra wanita dalam karya penulis-penulis pria yang menampilkan wanita sebagai makhluk yang dengan berbagai cara ditekan, disalahtafsirkan, serta disepelekan oleh tradisi patriarkal yang dominan (Djajanegara, 2000: 27). Kedua hasrat tersebut menimbulkan berbagai ragam cara mengkritik yang kadang-kadang berpadu. Misalnya, dalam meneliti citra wanita dalam karya sastra penulis wanita, perhatian dipusatkan pada cara-cara yang mengungkapkan tekanan-tekanan yang diderita tokoh wanita. Oleh karena telah menyerap nilai-nilai patriarkal, mungkin saja seorang penulis wanita menciptakan tokoh-tokoh wanita dengan stereotip yang memenuhi persyaratan masyarakat patiarkal. Sebaliknya, kajian tentang wanita dalam tulisan laki-laki dapat saja menunjukkan tokoh-tokoh wanita yang kuat dan mungkin sekali justru mendukung nilai-nilai feminis. Di samping itu, kedua hasrat pengkritik sastra feminis memiliki kesamaan dalam hal kanon sastra. Kedua-duanya menyangsikan keabsahan kanon sastra lama, bukan saja karena menyajikan tokoh-tokoh wanita stereotip dan menunjukkan rasa benci dan curiga terhadap wanita, tetapi juga karena diabaikannya tulisan-tulisan mereka.
Adapun jenis-jenis kritik sastra feminis yang berkembang di masyarakat adalah :

a. Kritik Ideologis
Kritik sastra feminis ini melibatkan wanita, khususnya kaum feminis, sebagai pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca adalah citra serta stereotipe seorang wanita dalam karya sastra. Kritik ini juga meneliti kesalahpahaman tentang wanita dan sebab-sebab mengapa wanita sering tidak diperhitungkan, bahkan nyaris diabaikan.

b. Kritik yang mengkaji penulis-penulis wanita
Dalam ragam ini termasuk penelitian tentang sejarah karya sastra wanita, gaya penulisan, tema, genre, dan struktur penulis wanita. Di samping itu, dikaji juga kreativitas penulis wanita, profesi penulis wanita sebagai suatu perkumpulan, serta perkembangan dan peraturan
tradisi penulis wanita.

c. Kritik sastra feminis sosialis
Kritik ini meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat. Pengkritik feminis mencoba mengungkapkan bahwa kaum wanita merupakan kelas masyarakat yang tertindas.

d. Kritik sastra feminis-psikoanalistik
            Kritik ini diterapkan pada tulisan-tulisan wanita, karena para feminis percaya bahwa pembaca wanita biasanya mengidentifikasikan dirinya dengan atau menempatkan dirinya pada si tokoh wanita, sedang tokoh wanita tersebut pada umumnya merupakan cermin
penciptanya.

e. Kritik feminis lesbian
Jenis ini hanya meneliti penulis dan tokoh wanita saja. Ragam kritik ini masih sangat terbatas karena beberapa factor, yaitu kaum feminis kurang menyukai kelompok wanita homoseksual, kurangnya jurnal-jurnal wanita yang menulis lesbianisme, kaum lesbian sendiri belum mencapai kesepakatan tentang definisi lesbianisme, kaum lesbian banyak menggunakan bahasa terselubung. Pada intinya tujuan kritik sastra feminis-lesbian adalah pertama-tama mengembangkan suatu definisi yang cermat tentang makna lesbian. Kemudian pengkritik sastra lesbian akan menentukan apakah definisi ini dapat diterapkan pada diri penulis atau pada teks karyanya.

f. Kritik feminis ras atau etnik
Kritik feminis ini berusaha mendapatkan pengakuan bagi penulis etnik dan karyanya, baik dalam kajian wanita maupun dalam kanon sastra tradisional dan sastra feminis. Kritik ini beranjak dari diskriminasi ras yang dialami kaum wanita yang berkulit selain putih di Amerika (Saraswati, 2003: 156).

Kajian sastra feminis mempunyai dua fokus. Pertama, menggali, mengkaji serta menilai karya penulis-penulis perempuan dari masa silam. Mereka mempertanyakan tolok ukur apa saja yang dipakai pengkritik sastra terdahulu sehingga kanon sastra didominasi penulis laki-laki. Tujuan kedua mengkaji karya-karya tersebut dengan pendekatan feminis. Ketiga, pengkritik sastra feminis terutama berhasrat mengetahui bagaimana cara menerapkan penilaian estetik, di mana letak nilai estetiknya serta apakah nilai estetik yang telah dilakukan sungguhsungguh sah. Singkatnya menilai tolok ukur yang digunakan untuk menentukan cara-cara penilaian lama.
Berdasarkan ketiga tujuan di atas, dapat disimpulkan bahwa apa yang dikehendaki pengkritik sastra feminis adalah hak yang sama untuk mengungkapkan makna-makna baru yang mungkin berbeda dari teks-teks lama. Pendekatan feminisme adalah pendekatan terhadap karya sastra dengan fokus perhatian pada relasi jender yang timpang dan mempromosikan pada tataran yang seimbang antar laki-laki dan perempuan (Djajanegara, 2000: 27). Feminisme bukan merupakan pemberontakan kaum wanita kepada laki-laki, upaya melawan pranata sosial, seperti institusi rumah tangga dan perkawinan atau pandangan upaya wanita untuk mengingkari kodratnya, melainkan lebih sebagai upaya untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi perempuan (Fakih, 2000: 5). Feminisme muncul akibat dari adanya prasangka jender yang menomorduakan perempuan. Anggapan bahwa secara universal laki-laki berbeda dengan perempuan mengakibatkan perempuan dinomorduakan. Perbedaan tersebut tidak hanya pada kriteria sosial budaya. Asumsi tersebut membuat kaum feminis memperjuangkan hak-hak perempuan di semua aspek kehidupan dengan tujuan agar kaum perempuan mendapatkan kedudukan yang sederajat dengan kaum laki-laki.
2.      Ketidakadilan Jender
Jender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa anggapan tentang peran sosial budaya laki-laki dan perempuan. Bentuk sosial perempuan dikenal sebagai makhluk yang lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Adapun laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Sifat-sifat itu dapat dipertukarkan dan berubah dari waktu ke waktu. Pemahaman konsep jender sesungguhnya dalam rangka menjelaskan masalah hubungan kemanusiaan (Fakih, 2000: 6). Adapun jender sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih, 2000: 8). Konsep jender sesungguhnya berkaitan dengan budaya. Keterkaitan itu menyebabkan wacana jender menjadi sebuah fenomena yang melintas batas-batas budaya. Jender muncul karena perkembangan pola pikir manusia mengenai kedudukan wanita bersama laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam jender dikenal sistem hirarki yang menciptakan kelompok-kelompok yang bersifat operasional, kelompok tersebut saling bergantung atau bahkan bersaing untuk mempertahankan kekuasaan
masing-masing (Moore dalam Abdullah, 1997: 87). Ann Oakley menyatakan bahwa hubungan yang berdasarkan jendermerupakan :
a.       Hubungan antara manusia yang berjenis kelamin berbeda dan itu merupakan hubungan hirarki yang menimbulkan masalah sosial.
b.      Jender merupakan konsep yang cenderung deskriptif daripada eksplanatoris tentang tingkah laku kedudukan sosial dan pengalaman antara laki-laki dengan perempuan.
c.       Jender memformulasikan bahwa hubungan asimetris laki-laki dan perempuan sebagian order atau normal (Abdullah, 1997: 284).

Berbagai faktor penyebab adanya ketidakadilan jender adalah:
a.       Adanya arogansi laki-laki yang sama sekali tidak memberika kesempatan kepada perempuan untuk berkembang secara maksimal.
b.      Laki-laki sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga.
c.       Kultur yang selalu memenangkan laki-laki telah mengakar di masyarakat.
d.      Norma hukum dan kebijakan politik yang diskriminatif.
e.       Perempuan sangat rawan pemerkosaan dan pelecehan seksual dan bila ini terjadi akan merusak citra keluarga dan masyarakat (Fakih, 2001:12).


Kajian novel ”Perempuan Kembang Jepun” karya Lan Fang.
Penokohan dalam Novel ”Perempuan Kembang Jepun” adalah terdiri dari tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah Matsumi (Tjoa Kim Hwa), sedangkan tokoh tambahan adalah Lestari (Kaguya), Sulis dan Sujono. Sifat karakteristik masing-masing tokoh berdasarkan pada tiga dimensi, yaitu fisiologis, sosiologis, dan psikologis. Adapun latar dalam novel Perempuan Kembang Jepun adalah latar waktu, latar tempat, dan latar sosial. Latar waktu ditunjukkan pada prolog dan epilog dalam novel. Bergulirnya cerita dimulai pada tahun 1941 sampai dengan Februari 2004. Latar tempat ditunjukkan dengan namanama kota yang dipakai dalam novel. Kota-kota tersebut di antaranya adalah Surabaya dan Kyoto, Jepang. Selain kota, latar tempat juga ditunjukkan dengan tempat hiburan, yaitu kelab hiburan di Kembang Jepun.
Tokoh wanita dalam novel Perempuan Kembang Jepun banyak mengalami ketidakadilan dari laki-laki yang ada dalam novel tersebut. Novel Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang yang dianalisis menggambarkan bagaimana fenomena ini terjadi melalui realitas sastra. Adapun
fenomena ketidakadilan yang terjadi meliputi berbagai hal berikut (Fakih, 2001: 13-23) :
(a)    Marginalisasi Perempuan
Proses marginalisasi yang mengakibatkan ketidakadilan sebenarnya banyak terjadi dalam masyarakat dan negara. Menimpa pada kaum laki-laki maupun kaum perempuan yang disebabkan oleh berbagai kejadian, misalnya penggusuran, proses eksploitasi, dan sebagainya. Namun demikian, terdapat salah satu bentuk ketidakadilan atas satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh jender. Hal tersebut dapat diketahui dalam cuplikan sebagai berikut:

”Cinta?! Tidak pernah ada kata cinta dalam kamus hidup seorang geisha. Geisha adalah boneka porselen cantik yang tidak boleh retak. Cinta membuat boneka porselen itu bukan sekedar retak, tapi hancur berkeping-keping! Kau benar-benar perempuan tidak tahu diri! Tidak tahu untung! Tidak tahu membalas budi! Bisa-bisanya kau menghancurkan hidup dan masa depanmu sendiri. Perempuan bodoh! Keparat! Bakayaro! Hanada-san menempelengi wajahku berulang-ulang sambil memaki panjang-lebar. Kubiarkan Hanada-san melampiaskan marah sepuas hatinya. Ia bukan saja menempelengi dan menjambakku, tapi juga menendang dan menginjak kepalaku. Setelah merasa cukup menghukumku, ia berdiri, memandangku dengan sorot mata yang tidak bisa kulerai maknanya. Dengan suara sedingin es yang bisa membuat gigi gemelutuk, ia berkata, ”Pergilah... jangan pernah kembali lagi ke sini...” Setelah meludahi wajahku, ia pergi tanpa menoleh lagi kepadaku. Aku tersaruk sendiri di lantai, tapi aku tetap tidak menangis (Perempuan Kembang Jepun, 2006: 142-143).

Ada beberapa perbedaan jenis dan bentuk, tempat, dan waktu serta mekanisme proses marginalisasi kaum perempuan karena perbedaan jender tersebut. Berdasarkan segi sumbernya dapat berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, tradisi, dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Marginalisasi kaum perempuan tidak saja terjadi di tempat pekerjaan, tetapi juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat, atau kultur dan bahkan negara. Marginalisasi perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat-istiadat maupun tafsir agama.

(b)   Subordinasi Perempuan
Istilah subordinasi mengacu pada peran dan posisi perempuan yang lebih rendah dibandingkan peran dan posisi laki-laki. Subordinasi perempuan berawal dari pembagian kerja berdasarkan jender dan dihubungkan dengan fungsi perempuan sebagai ibu. Kemampuan perempuan ini digunakan sebagai alasan untuk membatasi perannya hanya pada peran domestik dan pemeliharaan anak. jenis pekerjaan yang tidak mendatangkan penghasilan yang secara berangsur menggiring perempuan sebagai tenaga kerja yang tidak produktif dan tidak menyumbang kepada proses pembangunan.

Bertahun-tahun dalam perkawinan kami, aku merasa cuma sebagai babu yang dibutuhkan untuk mencuci, memasak, membuat kopi, dan selalu meributkan uang belanja yang kurang (Perempuan Kembang Jepun, 2006: 79).

Pandangan jender ternyata banyak menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emocional sehingga perempuan tidak dapat tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Subordinasi karena jender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu.

(c)    Stereotipe Perempuan
Stereotipe jender adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empirik yang ada. Pemikiran stereotipe tentang ciri-ciri laki-laki dan perempuan biasanya dikaitkan dengan peran jender mereka. Citra baku yang ada pada laki-laki adalah kecakapan, keberanian, pantang menangis, agresif, dan sebagainya yang berkaitan dengan peran jender mereka yaitu sebagai pencari nafkah utama dan pemimpin keluarga. Citra baku yang ada pada perempuan adalah memiliki rasa kasih sayang, kemampuan mengasuh, kehangatan, lembut, pemalu, cengeng. Dalam kenyataan empirik, citra tersebut tidak sesuai. Perempuan juga memiliki kecakapan, keberanian, pantang menangis, agresif, dan sebagainya.
Sebaliknya, laki-laki juga cengeng, lembut, kasih sayang, pemalu, mampu melakukan pengasuhan dan sebagainya.

Terus terang, semakin lama aku semakin berani padanya. Menurut Mas Sujono, aku semakin kurang ajar. Ia paling tidak suka bila aku mendelik dan melotot kepadanya. Menurutnya, tidak pantas seorang istri berlaku demikian terhadap suami. Tetapi aku merasa pantas saja berlaku seperti itu. Semakin hari ia sama sekali tidak kelihatan seperti keluarga yang bertanggung jawab! Aku semakin tidak menghargainya (Perempuan Kembang Jepun, 2006: 78).

Adapun gambaran bahwa laki-laki juga mempunyai sifat cengeng, lembu serta kasih sayang dan mampu melakukan pengasuhan dapat diketahui dari cuplikan sebagai berikut:

Aku tahu keadaan Lestari, maka kasihku kepadanya semakin besar. Aku bangun lebih pagi supaya bias memandikan dan menyuapi Lestari lebih dulu sebelum bekerja ke pelabuhan. Aku tidak mau Lestari tampak kotor dan kelaparan (Perempuan Kembang Jepun, 2006: 226).

Secara umum stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap satu kelompok tertentu. Namun demikian, stereotipe selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotipe itu adalah yang bersumber dari penandaan (stereotipe) yang dilekatkan pada mereka. Misalnya, penandaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotipe ini.

Selain karena Mas Wandi selalu memberikan uang lebih sehingga aku bisa membeli bedak dan gincu, aku juga menyukai remasannya (Perempuan Kembang Jepun, 2006: 43).

Bahkan jika ada kasus pemerkosaan yang dialami oleh perempuan, masyarakat berkecenderungan menyalahkan korbannya. Masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Stereotipe terhadap kaum perempuan ini terjadi di mana-mana. Banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kultur dan kebiasaan masyarakat yang dikembangkan karena stereotipe tersebut.

(d)   Kekerasan
Kekerasan (violence) adalah serangan terhadap fisik baik integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber. Namun, salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan jender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias jender ini disebut jender-related violence. Pada dasarnya, kekerasan jender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Banyak macam dan bentuk kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan jender, di antaranya :
1.      Bentuk pemerkosaan terhadap perempuan termasuk perkosaan dalam perkawinan. Perkosaan terjadi jika seseorang melakukan paksaan untuk dapat pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan. Ketidakrelaan ini seringkali tidak dapat terekspresi disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya ketakutan, malu, keterpaksaan baik ekonomi, sosial maupun kultural, serta tidak ada pilihan lain.

Belum tuntas rasa sakitku, belum sempurna kesadaranku, Mas Sujono bagaikan banjir banding, bagaikan harimau kelaparan, dating menerpa, menggulung, menindihiku! Ia mengangkat kedua pahaku tinggi-tinggi, melipatnya sampai ke atas dada, mendorong kepalaku sampai membentur dinding kamar. Aku merintih kesakitan. Air mataku membanjir, tapi ia tidak peduli. Ia menyetubuhiku sekali lagi dengan kasar dan lama sampai keringatnya bercucuran bagaikan curahan gerimis. Sampai akhirnya ia menghentikannya sendiri tanpa muncratan cairan hangat itu….. Ia memerkosaku!!! (Perempuan Kembang Jepun, 2006: 78-79).

2.      Tindakan pemukulan atau serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence) atau dapat juga disebut dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Termasuk dalam hal ini adalah tindak kekerasan dalam bentuk penyiksaan terhadap anak-anak (child abuse).

”Dan, seketika itu juga, tangannya melayang meninju mataku!” (Perempuan Kembang Jepun, 2006: 78).

”Besoknya, tampaklah gambar biru di sekeliling mataku dan seluruh tulang belulangku seakan remuk sehingga tidak bisa bangun dari tikar. Mataku sembab dan bengkak karena bekas pukulan juga karena menangis semalaman” (Perempuan Kembang Jepun, 2006: 81).

”Kamu yang keluar dari sini!” Ayah melepaskan aku dari seretan Ibu. Ia mendorong Ibu sampai terjerembab. Wajahnya yang bengis mencium lantai. Lalu Ayah menyeretnya ke arah pintu seakan-akan hendak membuang bangkai tikus. Ibu menggeliat-geliat mempertahankan diri agar tidak terlempar keluar. Tangannya menggapai-menggapai apa saja yang bisa dipegang untuk
mempertahankan diri, sampai memegangi daun pintu. Ayah kalap. Tubuh Ibu diinjak-injak dan ditendangi. Tetapi Ibu bersikukuh memegangi daun pintu sambil meringkuk. Akhirnya Ayah menjambak dan menarik rambut Ibu untuk menariknya keluar. Rambutnya tercabut dari kulit kepala” (Perempuan Kembang Jepun, 2006: 255).

3.      Pelecehan terhadap perempuan. Ketidakadilan jender pada tokoh wanita adalah pelecehan seksual. Pelecehan seksual yang dilakukan oleh laki-laki terhadap wanita merupakan perendahan derajat kaum wanita. Selain itu, kekerasan juga merupakan suatu bentuk ketidakadilan jender yang dialami oleh kaum wanita. Kekerasan tersebut dapat berupa kekerasan fisik maupun non fisik. Kekerasan fisik berupa pemukulan dan kekerasan non fisik, biasanya dalam bentuk makian dengan kata-kata yang kasar.

Karena semua tentara butuh perempuan. Karena itu juga kau berada di sini. Shosho Kobayashi membutuhkan perempuan yang bukan jugun ianfu. Karena itu tidak boleh ada yang tahu kau perempuan Jepang. Tidak ada perempuan Jepang yang menjadi jugun ianfu. Itu akan mempermalukan bangsa Jepang di mata dunia. Tetapi kau juga tidak bisa menjadi geisha di sini, karena geisha hanya ada di Jepang (Perempuan Kembang Jepun, 2006: 116).

4.      Kekerasan terselubung yaitu memegang atau menyentuh bagian tubuh tertentu dari tubuh perempuan dengan berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh. Jenis kekerasan ini sering terjadi di tempat pekerjaan ataupun di tempat umum, tetapi juga dapat terjadi di tempat tinggal sendiri.

Sudah tentu aku terkejut. Pertama, karena ia menyelipkan selembar uang. Kedua, karena ia meremas dadaku. Aku cuma bisa diam, tak tahu harus berbuat apa (Perempuan Kembang Jepun, 2006: 40).

Juga terdapat dalam cuplikan sebagai berikut:

Aku sering memergoki Joko melirikku, mencuri-curi kesempatan mengintipku mandi, menelanjangiku dengan pandangan mata nakal, sampai berusaha menggerayangi tubuhku bila Ayah dan Ibu sedang tidak berada di rumah (Perempuan Kembang Jepun, 2006: 250).

Tindakan kejahatan terhadap perempuan yang paling umum dilakukan masyarakat yaitu yang dikenal dengan pelecehan seksual atau sexual and emotional harassment. Bentuk pelecehan yang umum terjadi adalah unwanted attention from men.

Aku suka menggodanya karena ia memberi peluang untuk digoda. Aku memanfaatkannya agar aku bisa minum jamu dengan berutang, yang buntut-buntutnya tidak pernah kubayar. Aku suka menyentuhnya karena ia memberi kesempatan untuk kusentuh. Ia suka memakai kebaya dengan belahan dada rendah. Bahkan terkadang ia seakan sengaja membiarkan sebuah kancing kebayanya terbuka dan menampakkan kutang hitam di dalamnya. Kainnya diangkat tinggi-tinggi seakan sengaja memamerkan betisnya yang tersingkap bila ia berjalan (Perempuan Kembang Jepun, 2006: 183).

Banyak orang membela bahwa pelecehan seksual itu sangat relatif, karena sering terjadi bahwa tindakan tersebut merupakan usaha untuk bersahabat. Sesungguhnya pelecehan seksual bukanlah usaha untuk bersahabat, karena tindakan tersebut merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan bagi perempuan. Pelecehan seksual yang dilakukan oleh laki-laki terhadap wanita merupakan perendahan derajat kaum wanita. Persoalan ini bersumber pada dua hal. Pertama, adanya mitos kecantikan yang melekat pada diri perempuan yang menempatkan mereka pada posisi tereksploitasi. Kedua, adanya objektivitas perempuan dalam hal seks atau dijadikannya wanita sebagai objek pelecehan seksual oleh kaum laki-laki. Menurut Fakih (2001: 17) mengatakan bahwa kekerasan adalah serangan atau intervensi terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Selanjutnya Fakih menyebutkan bahwa kekerasan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, karena perbedaan gender. Kekerasan ini mencakup kekerasan fisik seperti pemerkosaan dan pemukulan, sampai kekerasan dalam bentuk yang lebih halus seperti pelecehan dan penciptaan ketergantungan. Banyak sekali kekerasan terhadap perempuan yang terjadi karena adanya stereotipe gender (Fakih, 2001: 75). Sebagai makhluk yang distereotipekan lemah, perempuan bukannya dilindungi, tetapi justru diperdayakan karena kelemahannya tersebut, baik oleh laki-laki di dalam rumah maupun oleh masyarakat di luar rumah.

(e)    Jender dan Beban Kerja
Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Konsekuensinya, banyak kaum perempuan bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapihan rumah tangganya, mulai dari membersihkan dan mengepel lantai, memasak, mencuci, mencari air hingga memelihara anak. Adapun dalam keluarga miskin beban yang sangat berat ini harus ditanggung oleh perempuan sendiri terlebih-lebih jika si perempuan harus bekerja, ia harus memikul beban kerja ganda.

Tetapi sesampai di rumah pun, setumpuk pekerjaan rumah tangga sudah menunggu. Pakaian kotor, memasak, membersihkan rumah, juga merebus daun sirih, kunyit, sambiloto, gula, garam, yang semuanya harus kuramu untuk dijual esok harinya, sampai… melayani Mas Sujono di atas tikar! (Perempuan Kembang Jepun, 2006: 76)

Bias jender yang mengakibatkan beban kerja tersebut seringkali diperkuat dan disebabkan oleh adanya pandangan atau keyakinan di masyarakat bahwa pekerjaan yang dianggap masyarakat sebagai jenis “pekerjaan perempuan”, seperti semua pekerjaan domestik, dianggap dan dinilai lebih rendah dibandingkan pekerjaan yang dianggap sebagai “pekerjaan laki-laki”, serta dikategorikan sebagai “bukan produktif” sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara. Sementara itu kaum perempuan, karena anggapan jender ini sejak dini telah disosialisasikan untuk menekuni peran jender mereka. Sementara di lain pihak, kaum laki-laki tidak.

Aku ingin melayaninya dengan sepenuh hati dan cinta. Aku rela dan tulus melayaninya. Angan-anganku menggambarkan rumah kecil kami akan ceria bila anak yang kukandung telah lahir. Sujono bekerja dan aku di rumah menunggunya sambil mengurus anak kami (Perempuan Kembang Jepun, 2006: 139).

Pada dasarnya bias jender merupakan pandangan dan sikap yang lebih mengutamakan salah satu jenis kelamin tertentu, misalnya lebih berpihak kepada laki-laki daripada kepada perempuan dan sebaliknya. Sebagai contoh, pandangan atau sikap yang terlihat di dalam gagasan-gagasan bahwa laki-laki itu lebih kompeten, lebih mampu, lebih superior daripada perempuan.
Berdasarkan hasil analisis novel Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang, ketidakadilan jender yang dialami oleh tokoh-tokoh wanita masih kentara. Sikap superioritas dari laki-laki masih sangat tinggi. Sosok perempuan di mata kaum laki-laki sekedar sebagai obyek seks semata yang harus mau melayani kemauan dari laki-laki. Wanita dianggap sebagai makhluk yang dapat diatur, dapat diperdaya ataupun dapat diapakan saja sehingga wanita seolah-olah memiliki martabat yang rendah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa peran wanita dapat ditentukan oleh laki-laki apalagi jika laki-laki tersebut adalah seorang suami. Ketidakadilan jender yang sering dialami oleh wanita adalah pelecehan seksual. Pelecehan seksual yang dilakukan oleh laki-laki terhadap wanita merupakan perendahan derajat kaum wanita. Selain itu, kekerasan juga merupakan suatu bentuk ketidakadilan jender yang dialami oleh kaum wanita. Kekerasan tersebut dapat berupa kekerasan fisik maupun non fisik. Kekerasan fisik berupa pemukulan dan kekerasan non fisik, biasanya dalam bentuk makian dengan kata-kata yang kasar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar