Sabtu, 08 Oktober 2011

Mengamati Dan Mengkritisi Film Denias “Senandung di atas awan”

I.                  Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

            “Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat.” Melalui sastra, terutama novel kita dapat mengerti lebih banyak mengenai kehidupan manusia. Suatu karya sastra dapat memperkaya wawasan pembaca dengan berbagai sudut pandang seperti psikologi, sejarah, sosial, politik, dan antropologi. Sastra menyajikan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah "kebenaran" penggambaran, atau yang hendak digambarkan. Namun Wellek dan Warren mengingatkan, bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya.
Hal ini disebabkan fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra tersebut kadang tidak disengaja dituliskan oleh pengarang, atau karena hakikat karya sastra itu sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara tidak langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu. Pengarang merupakan anggota yang hidup dan berhubungan dengan orang-orang yang berada disekitarnya, maka dalam proses penciptaan karya sastra seorang pengarang tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, karya sastra yang lahir ditengah-tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan jiwa pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dihayatinya.
Dengan demikian, sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari kekosongan sosial. Artinya karya sastra ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu dan menceritakan kebudayaan-kebudayaan yang melatarbelakanginya. Berangkat dari uraian tersebut, dalam makalah ini kami akan menganalisis film Denias ”Senandung di atas awan” dengan pendekatan sosiologi sastra.


II. Landasan Teori

2.1 Hakikat Sosiologi Sastra
            Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sos (Yunani) yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman, dan logi (logos) berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut, keduanya memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda bahkan bertentangan secara dianetral. Menurut Ratna (2003: 2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain:
1.      Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangn aspek kemasyarakatannya.
2.      Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya.
3.      Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangi.
4.      Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) antara sastra dengan masyarakat.
5.      Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara sastra dengan masyarakat.

Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial Wellek dan Warren (1956: 84, 1990: 111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut:

1.      Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan istitusi sastra, masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Wellek dan Warren,1990:112).
2.      Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial. (Wellek dan Warren, 1990:122). Beranggapan dengan berdasarkan pada penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama) bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton dan para pengikutnya sastra adalah gudang adat-istiadat, buku sumber sejarah peradaban.
3.      Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya.

Berkaitan dengan sosiologi sastra sebagai kajian Eagleton (1983), mengemukakan bahwa sosiologi sastra menonjol dilakukan oleh kaum Marxisme yang mengemukakan bahwa sastra adalah refleksi masyarakat yang dipengaruhi oleh kondisi sejarah. Sastra karenanya, merupakan suatu refleksi llingkungan budaya dan merupakan suatu teks dialektik antara pengarang. Situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra.
Sebagaimana yang dikemukakan Damono, Swingewood (1972: 15) pun mengingatkan bahwa dalam melakukan analisis sosiologi terhadap karya sastra, kritikus harus berhati-hati dengan slogan “sastra adalah cermin masyarakat’’. Hal ini melupakan pengarang, kesadaran, dan tujuannya. Dalam melukiskan kenyataan, selain melalui refleksi, sebagai cermin, juga dengan cara refleksi sebagai jalan belok. Seniman tidak semata melukiskan keadaan sesungguhnya, tetapi mengubah sedemikian rupa kualitas kreativitasnya. Dalam hubungan ini Teeuw (1984: 18-26) mengemukakan ada empat cara yang mungkin dilalui, yaitu (a) afirmasi (merupakan norma yang sudah ada), (b) restorasi (sebagai ungkapan kerinduan pada norma yang sudah usang), (c) negasi (dengan mengadakan pemberontakan terhadap norma yang sedang beralaku), (d) inovasi (dengan mengadakan pembaharuan terhadap norma yang ada).
            Berkenaan dengan kaitan antara sosiologi dan sastra tampaknya Swingewood (1972: 15) mempunyai cara pandang bahwa suatu jagad yang merupakan tumpuan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia, karena di samping sebagai makhluk sosial budaya akan sangat sarat termuat dalam karya sastra. Hal inilah yang menjadi bahan kajian dalam telaah sosiologi sastra.
            Rasionalisasi penelitian sosiologi sastra hadir dari Glickberg (1967:75) bahwa seperti apa bentuk karya sastra (fantastik dan mistis) pun besar perhatiannya terhadap fenomena sosial. Karya tersebut boleh dikatakan akan tetap menampilkan kejadian-kejadian yang ada di masyarakat. Memang, pencipta sastra akan dengan sendiri mendistorsi fakta sosial sesuai dengan idealisme mereka.
            Dalam pandangan Wolff (Faruk, 1994:3) sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dengan masyarakat.
            Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Arenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan zamannya.
            Kendati sosiologi dan sastra mempunyai perbedaan tertentu namun sebenarnya dapat memberikan penjelasan terhadap makna teks sastra (Laurenson dan Swingewood, 1972). Hal ini dapat dipahami, karena  sosiologi objek studinya tentang manusia dan sastra pun demikian. Sastra adalah ekspresi kehidupan manusia yang tak lepas dari akar masyarakatnya. Dengan demikian, meskipun sosiologi dan sastra adalah dua hal yang berbeda namun dapat saling melengkapi. Dalam kaitan ini, sastra merupakan sebuah refleksi lingkungan sosial budaya yang merupakan satu tes dialektika antara pengarang dengan situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra.
            Hal penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror). Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai mimemis (tiruan) masyarakat. Kendati demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan. Dari sini, tentu sastra tidak akan semata-mata menyodorkan fakta secara mentah.
            Sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia. Karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi. Dalam perjuangan panjang tersebut, menurut Goldmann (1981:11) memiliki tiga ciri dasar, yaitu: (1) kecenderungan manusia untuk mengadaptasikan dirinya terhadap lingkungan dengan demikian ia dapat berwatak rasional dan signifikan di dalam korelasinya dengan lingkungan, (2) kecendenrungan pada koherensi dalam proses penstrukturan yang global, dan (3) dengan sendirinya ia mempunyai sifat dinamik serta kecenderungan untuk merubah struktur walaupun manusia menjadi bagian struktur tersebut.
            Pada prinsipnya, menurut Laurenson dan Swingewood (1971) terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu: (1) penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2) penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan (3) penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya.
Dapat disimpulkan, analisis sosiologi sastra berfokus pada penelaahan gambaran kondisi sosial masyarakat yang diangkat ke dalam cerpen. “Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Karya sastra hampir tidak dapat terlepas dari kehidupan sosial manusia karena pengarang sendiri adalah bagian dari masyarakat.
Dalam makalah ini, kritik sastra memiliki empat pendekatan yaitu: orientasi pada semesta, pembaca, elemen pengarang dan karya. Menurut Warren dan Wellek sosiologi sastra sendiri berasal dari orientasi pada semesta, pengarang dan pembaca. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa suatu karya sastra tidak terlepas dari dunia dan kehidupan manusia. Selain itu peranan penulis dalam sosiologi sastra tidak dapat dipisahkan dari kenyataan bahwa pengarang secara langsung terlibat dalam memasukkan unsure sosiologi sastra karya tulisnya. Perspektif pembaca juga sangat berpengaruh sebab pembaca sebagai “ … penerima efek karya sastra, dapat dengan bebas menelaah inti sosiologi dari karya sastra dan menyerap pesan yang tersirat.”
      Suatu karya sastra ditulis dengan maksud dan tujuan tertentu. Pengarang cerpen tidak sekadar berimajinasi dan memasukkan berbagai macam aspek kehidupan manusia ke dalam novel. Oleh sebab itu adalah penting untuk mengerti inti dari karya sastra tersebut sehingga kita dapat mempelajari kehidupan sosial manusia. Dalam menelaah cerpen penulis akan menggunakan kajian sosiologi sastra yang berpusat pada karya sastra itu sendiri terlepas dari pengarang dan pembaca.



III     Mengenai Film Denias “Senandung di atas awan”


Judul Film                   : Denias “Senandung di Atas Awan”
Sutradara                     : John de Rantau
Produser                      : Nia Zulkarnaen
                          Ari Sihasale
Penulis Skenario          : J. Nyangoen
 Monty Tiwa
Pemeran                     : Ari Sihasale
Nia Zulkarnaen
  Marcella Zalianty
  Albert Fakdawer
  Michael Jakarimilena
  Pevita Eileen Pearce
  Mathias Muchus
  Audrey Pailaya
Tanggal Rilis               : 19 Oktober 2006
Durasi                          : 110

Sinopsis Cerita :
Film ini menceritakan tentang perjuangan seorang anak petani suku pedalaman. Papua yang bernama Denias yang diperankan oleh Albert Fakdawer. Suatu malam ibunya tewas karena Denias melakukan sesuatu yang tidak disengaja. Denias pun terpukul. . Hidup Denias dibayangi kesedihan semenjak kematian ibunya dalam sebuah tragedi kebakaran. Namun semangatnya untuk belajar tidak pernah pupus. Beruntung ada Maleo (Ari Sihasale) yang menguatkannya. Sebelum tewas, ibu Denias berpesan padanya agar jangan melupakan sekolah dan terus belajar. Pesan ini diingat terus oleh Denias. Maleo pun memotivasi Denias untuk menuntut ilmu di sekolah dasar yang berada di balik gunung. Sekolah itu bangunannya luas, permanen dan berfasilitas lengkap. Berbeda dengan sekolah di kampungnya yang kecil, dibangun dari kayu, dan akhirnya rubuh ketika diguncang gempa. Sekolah modern di balik gunung itu pun bermetode pengajaran modern dengan para guru yang ahli. Tidak seperti sekolah di kampungnya yang gurunya (Mathias Muchus) hanya satu dan akhirnya pulang ke tanah Jawa karena istrinya sakit. Kemudian berangkatlah Denias ke kota untuk menggapai cita-citanya untuk sekolah.Denias pun sampai di sekolah itu setelah susah payah melewati hutan Papua. Di sana ia bertemu Ibu guru Sam (Marcella Zalianty) yang membantunya agar dapat diterima menjadi murid di sekolah itu. Maklum, sekolah itu hanya diperuntukkan untuk anak-anak kepala suku, sedangkan Denias hanya anak biasa.





IV     PEMBAHASAN

Film ini bertutur tentang pentingnya menuntut ilmu bagi setiap orang. Tak peduli dibatasi oleh hal suku, agama, ras, kelas sosial, budaya, ataupun aspek geografis, setiap orang berhak untuk menuntut ilmu di institusi sekolah. Hak ini menjadi tuntutan penting yang belum bisa dipenuhi negara kita. Film ini seperti mengingatkan pemerintah dan kita terhadap betapa pentingnya pendidikan bagi kemajuan bangsa. Kritik sosial pada film ini disampaikan lewat balutan kisah drama khas kehidupan anak-anak yang halus, lugu, dan ceria. Sikap dan pesan yang disampaikan pun tak terlihat menyalahkan atau menuding pihak-pihak tertentu yang dianggap bertanggung jawab atas rendahnya kualitas pendidikan di negara ini. Sebaliknya, malah kita yang diingatkan tentang tanggung jawab bersama memajukan kualitas pendidikan negara ini.
Dengan berbagai pesan itu yang terkandung di dalam skenario, menjadikan film ini paling kuat secara tematik di antara nominator lain. Persoalan yang diangkat juga kontekstual dengan persoalan pendidikan nasional negara ini. Siapapun yang menonton film ini pasti akan tersentuh dengan realita yang ditampilkan pembuat film. Cerita film ini sangat berhasil dalam penyampaian pesan dan membangun kedekatan emosi dengan penonton.
Tak hanya temanya yang sangat kuat, film ini juga sangat indah dari sudut visual. Keindahan alam Papua dieksplorasi habis-habisan di sini. Sebuah bahasa visual yang mendukung jalan cerita secara keseluruhan. Kesendirian dan kemandirian Denias dalam usahanya untuk bersekolah terwakilkan pada visual alam Papua yang luas dan indah. Selain sinematografi yang bagus, film ini semakin hidup dengan menampilkan adat istiadat setempat. Sebuah nilai minus kecil pada skenarionya muncul pada hubungan antara Denias dan ibu guru Sam yang kurang dieksplor lebih dalam. Secara keseluruhan, mungkin film ini yang paling pantas masuk nominasi dan semoga paling kuat untuk merebut gelar film terbaik.
Di dalam film “Denias” Senandung di Atas Awan bisa dilihat dari budaya yang ditampilkan dalam film tersebut. Gaya bicara dan tingkah laku Denias menceritakan dengan jelas kehidupannya dan kebudayaannya. Jadi kita dapat sekaligus belajar dari film tersebut tentang kebudayaannya dan kehidupan di pedalaman Papua. Kekuatan dalam film tersebut juga terletak pada keasliannya kehidupan suku pedalaman Papua. Cerita tersebut di gambarkan secara jelas kehidupan di suku pedalamannya dari kebudayaannya. Contoh dalam tersebut di gambarkan anak yang sudah beranjak dewasa diwajibkan memakai koteka dan setelah upacara pemakaian koteka tersebut dipisahkan tempat untuk laki-laki dan perempuan, dan juga upacara berkabung setelah meninggalnya istri diadakan upacara pemotongan jari dan mandi Lumpur. Dan penjabaran kehidupan dipedalaman papua yang sangat keras, penuh dengan kepolosan orang orang desa Wamena karena kurangnya pendidikan. Sangat bisa kita lihat dalam film ini. Kita bisa menjadikan film ini sebagai hiburan sekaligus pembelajaran.
Film Senandung di Atas Awan, memperlihatkan sisi kehidupan papua yang benar-benar masih murni suku pedalaman. Dapat dilihat dari kostum, Penduduk asli pedalaman masih di tunjukan dengan pakaian adat Papua, masih menggunakan koteka walupun sebagian sudah mengenal pakaian penutup. Tapi di dalam film ini benar-benar tidak merubah adat kebiasaan orang pedalaman disana, rumah adat desa Wamena, logat bahasa juga sangat kental sekali. Sehingga film ini terlihat benar-benar murni. Ilustrasi Musik yang dipakai sekaligus soundtrack film ini dinyanyikan langsung oleh Albert pemeran Denias. Lumayan bagus sesuai dengan isi film tersebut, kesan dramatik lumayan muncul dalam film tersebut tetapi sedikit terlalu berlebihan dalam film tersebut, tidak ada penyesuaian terhadap visualisasinya. Dalam film ini tidak banyak menggunakan teknik-teknik pengambilan gambar yang sulit ataupun teknologi-tegnologi yang menghasilkan imajiner yang tinggi. Teknik pengambilan gambar lumayan bagus saat seluruh wilayah kepulauan Cendrawasih di tampilkan seluruhnya sangat bagus. Dan pengambilan gambar di sekitar desa di pedalaman itu sangat bagus. Dalam film ini benar-benar ingin menonjolkan keindahan kepulauan Cendrawasih.
Film yang bercerita tentang perjuangan seorang anak Papua yang bernama Denias yang dengan segala macam cara mencoba untuk meraih pendidikan yang layak. Cerita ini di ambil dari seorang pribumi asli yang bernama Janias. Film ini tidak hanya sekedar sebuah film tetapi juga bisa menjadi inspirasi untuk mengambil keputusan apa yang terbaik buat hidup. Dan memberikan semangat juang yang tinggi untuk mendapatkan pendidikan yang baik. Dan memberikan semangat untuk meperjuangkan apa yang kita inginkan. Film DENIAS “Senandung di Atas Awan” adalah sebuah film yang harus ditonton oleh mereka yang mengaku dengan dunia pendidikan di Indonesia. Sebuah film yang dapat membuka pandangan kita tentang betapa pendidikan yang layak di negeri kita ini masih sangat mahal, masih sangat rumit dan masih banyak terjadi diskriminasi-diskriminasi yang tidak masuk akal. Sehingga menyebabkan banyaknya anak-anak yang mempunyai keinginan untuk sekolah yang besar putus di tengah jalan karena adanya latar belakang keluarga.


V         KESIMPULAN

Mengamati dan mengkritisi film DENIAS “Senandung di Atas Awan” menurut saya ada beberapa kelemahan dan keunggulan dalam film tersebut. Baik dari segi teknik pengambilan gambar atau segi penyampaian pesan atau tekstur dan unsur-unsur lain yang mempengaruhi hasil film tersebut. Keunggulan film DENIAS “Senandung di Atas Awan” adalah dari tema yang diangkat adalah pendidikan. Ini memberikan nilai positif dari film tersebut, karena sangat sedikitnya film pendidikan yang di angkat dengan kenyataan sekarang yang maraknya film horror dan cinta yang di angkat menjadi tema. Film DENIAS ini bisa dijadikan contoh sebagai produser-produser lain agar tetap menjalankan nilai pendidikan dalam film mereka. Sedangkan kelemahan dari film ini adalah karena ceritanya sangat sederhana dan penyampaiannya sangat monoton. Kadang membuat orang malas untuk menonton walaupun tema yang di angkat bagus. Karena banyaknya saingan film-film komersil lainnya yang lebih menarik daripada yang hanya sekedar film pendidikan ini. Sekarang bagaimana caranya film pendidikan bisa dikemas dengan penyampaian yang sangat menarik dan tidak monoton. Dan berdasarkan teori Critical Singularism oleh Beardsley menyatakan bahwa setiap karya seni mempunyai kekhususan yang tidak dipunyai yang lain dan kekhususan itu menjadi “Khas”. Di dalam film yang di produseri oleh Ari Sihasale mempunyai cirri khas sendiri. Yaitu mengangkat tema-tema pendidikan untuk dijadikan karya seni mereka. Karena mereka ingin mengungkap keadaan pendidikan di Indonesia sebenarnya.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar